Tuesday 7 July 2009

HUKUM, MORAL, DAN AGAMA SEBAGAI LANDASAN PRAKTEK KODE ETIK PROFESI HAKIM INDONESIA

HUKUM, MORAL, DAN AGAMA SEBAGAI LANDASAN

PRAKTEK KODE ETIK PROFESI HAKIM INDONESIA




Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum, Moral, dan Agama

Disusun Oleh:

Nunik Nurhayati

E0005238

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.


Hakim sangat erat kaitannya dengan hukum atau negara hukum. Karena hukum akan ditegakkan dimana ada pengadilan yang merupakan tempat untuk mengadili dan tentunya dalam pengadilan ada hakim yang berperan sebagai pemutus sebuah keputusan yang adil. Untuk itu, perlu adanya kode etik profesi hakim yaitu aturan tertulis yang harus dipedomani oleh setiap Hakim Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi sebagai Hakim. Adapum maksud dan tujuan adanya kode etik profesi hakim ini adalah Sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter Hakim dan pengawasan tingkah laku Hakim. Selain itu juga sebagai sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial, dan pencegah timbulnya kesalah pahaman dan konflik antar sesama anggota dan antara anggota dengan masyarakat. Tujuan dari kode etik ini adalah memberikan jaminan peningkatan moralitas Hakim dan kemandirian fungsional bagi Hakim dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.

Dengan adanya kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya harapannya adalah untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Tetapi kenyataannya sekarang Hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik. Kalaupun ada biasanya akan ditangani oleh komisi yang dibentuk oleh Pengurus Pusat IKAHI dan Pengurus Daerah IKAHI untuk memantau, memeriksa, membina, dan merekomendasikan tingkah laku hakim yang melanggar atau diduga melanggar Kode Etik Profesi.

Kode etik profesi hakim sudah tentu berisikan aturan-aturan mengenai etika-etika hakim yang baik. Sehingga sumber dari kode etik ini tentunya adalah sumber yang baik dan dapat dipercaya. Nilai-nilai akhlaq yang diajarkan oleh agama yang melahirkan nilai moralitas yang baik adalah sumber dari kode etik ini.

Oleh karena itu, butuh adanya suatu landasan bagi hakim untuk menerapkan kode etik profesinya dalam praktek sehari-hari. Hal ini karena kode etik hanya merupakan sebatas aturan saja. Adanya Komisi Yudisial yang berada dalam struktur Lembaga yudikatif di Indonesia belum mencukupi dalam mengawasi hakim menjalankan tugasnya. Dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik profesinya tersebut.

Dari hal-hal yang sudah dipaparkan diatas, maka penulis mengambil tema untuk makalah ini yaitu hukum, moral, dan agama sebagai landasan praktek kode etik profesi hakim di Indonesia.

B. Rumusan Permasalahan

  1. Bagaimana aplikasi Kode Etik Profesi Hakim Indonesia dalam prakteknya?
  2. Bagaimana pentingnya penerapan hukum, moral, dan agama sebagai landasan praktek kode etik profesi hakim di Indonesia?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Aplikasi Kode Etik Profesi Hakim Indonesia dalam Praktek

Dasar kode etik profesi hakim diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang dimaksud dalam hal ini tertuang dalam pasal 1 yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Adapun pokok-pokok dari etika profesi Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:

a. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila yaitu bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial. (Terdapat dalam pasal 1)

b. Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. (Terdapat dalam Pasal 4 ayat (1))

c. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. (Terdapat dalam Pasal 4 ayat (2))

d. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. (Terdapat dalam pasal 5)

Selain itu, dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) IKAHI (Ikatan Hakim Inndonesia) ke XIII di Bandung Tanggal 21 Februari Tahun 2001 menghasilkan sebuah peraturan mengenai kode etik profesi Hakim yang merupakan satu-satunya kode etik yang berlaku bagi para hakim Indonesia. Munas ini dipimpin oleh Pimpinan Musyawarah Nasional XIII yaitu H. Sakir Ardiwinata, SH, Deliana Sayuti Ismudjoko, S.H, dan Drs. H. Matardi, S.H dengan sekretaris Dwiarso Budi Santiarto, SH.

Kode etik profesi hakim menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Tetapi kenyataannya sekarang Hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik. Kalaupun ada biasanya akan ditangani oleh komisi yang dibentuk oleh Komisi Yudisial, Pengurus Pusat IKAHI dan Pengurus Daerah IKAHI untuk memantau, memeriksa, membina, dan merekomendasikan tingkah laku hakim yang melanggar atau diduga melanggar Kode Etik Profesi

Banyak realita yang bisa dilihat. Misalnya, hakim disuap agar pihak yang salah tidak diberikan hukuman yang berat bahkan dibebaslepaskan dari segala tuntutan. Hal ini jelas melanggar kode etik hakim yaitu yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Dalam ayat (2) yaitu Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Selain itu, hakim juga sering menggunakan jabatannya tidak pada tempatnya. Misalnya, seorang hakim menggunakan jabatannya untuk menguntungkan pribadinya karena orang melihatnya sebagai seorang hakim. Ditambah lagi ketika memanfaatkan jabatn tersebut banyak orang lain yang dirugikan. Hal ini bertentengan dengan kode etik profesi yang difasilkan dalam Munas XIII di Bandung yaitu mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi.

Kenyataannya, masih banyak lagi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Hakim. Tetapi, memang publik kurang mengetahuinya karena tidak begitu diangkat di ranah publik. Dan pemberian sanksi nya pun belum begitu tegas terbukti masih banyak terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim. Padahal, hakim adalah cermin pengadilan. Sehingga, dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim berarti mencoreng nama pengadilan sebagai contoh lembaga yang harus diteladani menjadi lembaga yang sudah tidak percaya lagi kredibilitasnya oleh masyarakat.

2. Hukum, Moral, dan Agama sebagai landasan praktek kode etik profesi hakim Indonesia

Sebelum penjabaran pembahasan hukum, moral, dan agama yang harus digunakan hakim dalam menjalankan aplikasi kode etik profesinya, berikut penulis paparkan matriks sebelas asas etika perilaku hakim dan empat penggolongan kewajiban hakim:

Dari matriks diatas dipaparkan bahwa sebelas asas etika prilaku hakim bahwasannya adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat moralitas yang merupakan ajaran agama mengenai akhlaq yang berbanding lurus dengan keimanan seseorang.

Norma etika (profesi) hukum dapat disebut sebagai bagian dari ilmu tentang ahlak (akhlak, budipekerti) atau moral science. Norma etika profesi hukum (sebagai bagian dari “ilmu ahlak”) mengatur kewajiban para anggota profesi hukum (hakim, penuntut umum, advokat dan notaris) berperilaku yang dapat disetujui oleh orang-orang yang adil (that merit the approval of just men). Menurut logika, maka anggota profesi hukum yang berperilaku melanggar norma etika, harus dikenakan sanksi (tindakan disiplin). Ada dua alasan (kategori alasan) utama untuk memberi tindakan disiplin pada perilaku seorang anggota profesi hukum (tentunya termasuk hakim), yaitu:

· perilaku yang mengingkari moral (morally wrong); dan

· perilaku yang sangat tercela dan menghina profesi hakim, sehingga yang bersangkutan tidak pantas lagi menjadi hakim (unworthy to continue as a judge).

Tentang kewajiban Hakim kepada masyarakat melambangkan adanya kewajiban pada hakim untuk berperilaku terhormat (honorable), murah-hati (generous) dan bertangggungjawab (responsible). Hal itu berarti bahwa seorang anggota profesi hakim tidak saja harus berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus pula mendapat kepercayaan publik, bahwa seorang hakim akan selalu berperilaku demikian.

Pengadilan diadakan untuk memberi keadilan, dikatakan juga sebagai “tempat kedudukan keadilan” (the seat of justice). Karena itu pengadilan harus melayani kepentingan masyarakat (serve the public interest) dan bukan kepentingan negara atau pemerintah. Ketentuan pertama “berperilaku adil”, harus mengacu pada rasa keadilan dalam masyarakat. Seorang hakim juga tidak boleh dipengaruhi oleh permintaan untuk “berpihak” (partisan demands) atau dipengaruhi oleh keinginan untuk mendapat popularitas pribadi. Karena itu seorang hakim harus mendengar dengan cermat pendapat dari kedua belah pihak dalam konflik (penggugat dan tergugat; penuntut umum dan terdakwa).

Tentang kewajiban hakim kepada pengadilan, perilaku seorang hakim harus bebas dari ketidak pantasan atau ketidak patutan (improper behavior; improprietary). Seorang hakim harus selalu menginsyafi bahwa perilakunya akan dapat mencoreng jabatan dan citra pengadilan. Karena itu perilakunya di dalam sidang maupun dalam keseharian haruslah tanpa cela (beyond reproach). Seorang hakim harus mengusahakan agar tidak terlibat dalam kegiatan yudisial (bertindak selaku hakim) dimana kepentingan pribadinya tersangkut. Dia harus berperilaku jujur, netral (impartial), tidak takut pada kritik masyarakat, tidak mengharapkan mendapat pujian masyarakat dan menjaga kepercayaan masyarakat kepada pengadilan.

Hakim juga harus menjaga kewibawaan sidang pengadilan yang sedang berada dalamproses mengadili. Karena itu dia harus memimpin sidang dengan menjaga tata-tertib dan aturan-aturan sopan santun (decorum). Dia harus menunjukan sikap penghargaan profesional (professional respect) kepada sesama hakim (dalam majelis yang sedang bersidang), kepada penuntut umum, advokat, terdakwa dan para saksi.

Perilaku bercirikan kejujuran melarang hakim untuk bersikap curang dalam perkara yang dihadapinya. Dia dapat berperilaku curang karena antara lain. dipengaruhi oleh ambisi dan kepentingan diri (pengaruh politik), maupun dipengaruhi oleh pemberian hadiah, ataupun suatu “kebaikan” (favor).

Tentang kewajiban hakim kepada sejawat hakim maupun sejawat profesi hukum lainnya, seorang hakim harus memahami pula bahwa tugasnya untuk menerapkan hukum dan undang-undang melalui penfsirannya, kepada kasus yang dihadapinya, membawa/mempunyai dampak pada perkembangan hukum (the development of the law). Karena itu dalam menafsirkan undang-undang pada kasus tertentu, ia harus sangat hati-hati dan harus dapat dan berani mempertanggungjawabkan keputusannya itu kepada sejawat hakim lain maupun sejawat profesi hukum lainnya. Terutama dalam keadaan negara Indonesia, dimana perkembangan hukum masih harus disesuaikan dengan masyarakat Indonesia yang majemuk dan kompleks, maka putusan hakim yang menafsirkan suatu aturan hukum, yang dibuat oleh eksekutif bersama yudikatif, dapat mempunyai dampak besar (misalnya hak rakyat atas ganti rugi tanah yang diperlukan oleh pemerintah; atau pengertian merugikan keuangan negara; atau bentuk pencemaran nama baik oleh media pers).

Untuk dapat berperilaku menjunjung tinggi harga diri seorang hakim harus mencegah tumbulnya kecurigaan bahwa dirinya dan jabatannya telah dimanfaatkan (oleh hakim tersebut atau orang lain) untuk meyakinkan atau memaksa seseorang atau suatu perusahaan memberi sumbangan kepada suatu usaha komersial. Karena itu seorang hakim harus menahan diri mempergunakan kekuasaan jabatannya (the power of his office) untuk kepentingan bisnis atau untuk memenuhi ambisi pribadi ataupun politik seseorang. Perilaku semacam ini akan menimbulkan citra buruk terhadap profesi hakim, maupun profesi lainnya yang berhubungan dengan pengadilan.

Untuk menghargai waktu yang telah disediakan oleh mereka yang berperkara (termasuk saksi-saksi, penuntut umum dan advokat), maka sering hakim harus menunjukkan sikap berdisiplin tinggi. Hal ini berarti bahwa hakim harus tepat waktu dalam memulai sidang, karena kelambatan dan kelambanan dalam proses persidangan akan sangat merugikan mereka yang mempunyai tugas-tugas lain, di samping kewajiban kehadiran mereka dalam sidang hakim bersangkutan. Agar sidang dapat diarahkan dengan baik, disiplin hakim mencakup pula kerajinannya mempelajari berkas perkara sebelum hari sidang.

Agar sidang tidak berjalan lamban dan tidak efisien dan menjadi tidak efektif, maka perilaku hakim yang berdisiplin tinggi adalah juga berarti menegakkan disiplin itu pada dirinya dan jalannya sidang. Hal itu berarti bahwa hakim harus menghargai sikap profesional pada dirinya, maupun para pihak yang berperkara. Setiap tindakan atau perilaku tidak-profesional yang terjadi dalam sidangnya harus segera ditertibkan dan diperbaiki, dimana perlu dengan memproses tindakan tidak-profesional tersebut untuk dilaporkan kepada organisasi profesi yang bersangkutan, agar dapat diperiksa dan dikenakan tindakan disiplin.

Termasuk dalam kewajiban hakim pada para sejawatnya adalah berperilaku rendah hati. Didalam sidang hakim itu (sangat) berkuasa. Dia dapat menerima ataupun menolak permintaan para pihak dalam perkara (misalnya menghadirkan saksi) atau “mengusir” seseorang dari ruangan sidang. Dengan berperilaku rendah hati, seharusnya hakim tidak “memamerkan” kekuasaannya ini. Hakim harus ramah pada teman sejawat hakim (yang duduk sebagai anggota majelis yang bersangkutan), juga kepada para kuasa dari para pihak (penuntut umum dan advokat), serta tentunya juga pada para saksi dan terdakwa atau penggugat dan tergugat. Terutama keramahannya ini harus ditujukan kepada para teman sejawat hakim dan sejawat lainnya yang masih muda dan belum berpengalaman.

Tentang kewajiban hakim kepada para pihak dalam perkara, tentunya kewajiban ini yang paling disorot publik dan menuai banyak perdebatan tentang isinya dan apakah suatu perbuatan (yang dianggap merugikan salah satu pihak berperkara) adalah perbuatan yang perlu mendapat sanksi disiplin. Hakim harus berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, dan berperilaku menjunjung tinggi kesetaraan di hadapan hukum.

Banyak kasus yang dibawa ke pengadilan adalah kasus yang “samar-samar” hukumnya (khususnya kalau diterapkan pada perkara bersangkutan). Tindakan pidana yang dilakukan tidak sebanding dengan hukuman yang diterima. Hakim harus bersikap mandiri. Disini pula tepat untuk mengingatkan kembali tentang bahaya penerimaan hadiah, pepatah kuno mengatakan: “hadiah akan membutakan mata dan menyesatkan kata-kata seorang yang arif bijaksana(a gift does blind the eyes of the wise, and pervert the words of the righteous). Kemandirian pengadilan (independency of the judiciary) sering “dikumandangkan” sebagai hak dari sistem peradilan (kekuasaan kehakiman) yang diamanatkan dalam konstitusi. Tetapi sering para “penuntut hak” itu lupa, bahwa lebih utama bagi publik (masyarakat pencari keadilan) adalah kewajiban hakim untuk bersikap mandiri. Jadi berarti bahwa hakim tidak boleh di “dorong” untuk bersikap partisan (memihak). Sikap ini sering juga sukar bagi hakim, karena kedua belah pihak yang sedang berada dalam “konflik” tentunya menginginkan hakim untuk “berpihak (membenarkan)” argumentasi masing-masing

Juga akan sukar bagi hakim apabila ada “tekanan kekrabatan” (kinship influence). Memang seorang hakim harus mengundurkan diri bila salah satu pihak dalam perkara mempuyai hubungan kekeluargaan dengannya, tetapi “hubungan kekrabatan dalam sistem keluarga besar” akan menyukarkan dirinya untuk menghindar dari usaha-usaha mempengaruhinya. Karena itulah disyaratkan bahwa seorang hakim mempunyai integritas tinggi, sikap ini tidaklah hanya berarti “jujur dan dapat dipercaya”, tetapi juga mencerminkan keteguhan dalam pendirian (istiqamah; strength and firmness of character).

Ada kalanya hakim secara tidak sadar akan membiarkan suatu perkara berlarut-larut (delay in the administration of justice), mungkin karena kesibukannya sendiri, sehingga tidak mempersiapkan diri untuk memahami perkara, atau karena “sungkan” (merasa tidak enak hati) untuk menolak permintaan salah satu pihak, karena advokat (atau penuntut umum) adalah teman dekatnya. Diperlukan kekuatan dan keteguhan untuk tetap berperilaku adil agar perkara dapat selesai dengan “cepat dan biaya murah”. Dalam menghadapi perkara-perkara yang harus diadilinya seorang hakim juga harus menjunjung tinggi asas kesetaraan di muka hukum (equality before the law). Ia tidak boleh terpengaruhi oleh pangkat (jabatan), status sosial, suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, agama dan kepercayaan, dan aliran politik seseorang yang dihadirkan dimuka sidangnya. Ia harus meyakini adanya tingkat atau kedudukan yang sama dari setiap orang dimuka hukum. Kesetaraan dimuka hukum ini harus diartikannya juga setelah hakim tersebut memberikan putusannya. Karena itu dia harus secara adil juga menguraikan dengan seksama argumentasi yang diajukan oleh pihak yang dikalahkan olehnya dalam perkara tersebut. Uraian tersebut harus dapat menunjukkan bahwa hakim tersebut telah pula dengan seksama mempertimbangkan argumentasi pihak yang dikalah-kannya. Pendapat hukum dari hakim ini (judicial opinion; legal reasoning) merupakan pula bukti bahwa hakim yang memutus dalam tingkat perkara tersebut memberikan sepenuhnya hak kepada pihak yang kalah untuk meminta banding atas putusan perkaranya, pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.

Dari penjabaran diatas jelas menyatakan bahwa kode etik profesi hakim merupakan penjelmaan dari nilai-nilai etika dan sikap terpuji yang merupakan cerminan moralitas yang baik yang bersumber dari ajaran agama. Hal ini tentunya tidak lepas dari nilai akhlaq yang juga merupakan ajaran-ajaran agama yang harus diamalkan dalam bermuamalah.

Hal ini dikarenakan, ilmu hukum dalam keotentikannya merupakan ilmu yang sarat dengan moral dan moralitas. Ilmu hukum merupakan realitas kodrati yang eksis dan tertanamkan di setiap hati nurani manusia dan a priori terhadap segala bentuk perilaku manusia. Dalam posisinya sebagai norma kehidupan seperti itu, maka ilmu hukum merupakan ilmu amaliah. Artinya, tidak ada ilmu hukum tanpa diamalkan, dan tidak ada sesuatu amalan digolongkan bermoral kecuali atas dasar ilmu hukum.

Bagaimanapun perkembangan ilmu hukum harus berjalan secara wajar, sehat dan mampu menjadi pendorong terwujudnya kehidupan yang lebih adil, bahagia dan sejahtera. Dalam konteks pemikiran demikian, maka keutuhan moral dengan ilmu hukum harus tetap dijaga, baik pada tataran teoretis maupun praktis. Moral dan moralitas religius, sebagai fondasi utama untuk merespon keterpurukan perkembangan ilmu hukum sangat penting, karena pada tataran paradigmatis, filosofis maupun empiris, sejarah kehidupan manusia di belahan bumi manapun telah terbukti bahwa agama mampu menjadi pilar-pilar yang kokoh bagi terwujudnya perikehidupan dan penegakan hukum yang benar-benar adil.

Apa yang dimaksud dengan moral di sini tidak lain adalah akhlak. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jamak dari kata khuluq. Khuluq berarti tabiat, watak, perangai dan budi pekerti yang bersumber atau berinduk pada al-Khaliq (Tuhan Yang Maha Esa). Akhlak (khuluq) sebagai hal yang melekat dalam jiwa, yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan yang dengan mudah untuk dilakukan tanpa dipikir dan diteliti. Jika hal-ihwal jiwa itu melahirkan perbuatan-perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syara’, maka hal-ihwal itu disebut khuluq yang baik, sebaliknya jika yang keluar darinya adalah perbuatan-perbuatan buruk, maka hal-ihwal jiwa yang menjadi sumbernya disebut khuluq yang buruk. Dengan demikian setiap perbuatan individu maupun interaksi sosial tidak dapat lepas dari pengawasan al-Khaliq (Allah swt).

Dari definisi itu dapat ditegaskan bahwa akhlak senantiasa berkaitan dengan nilai baik dan buruk. Pertanyaan yang muncul kemudian dengan definisi ini adalah masih relevankah memposisikan al-Khaliq sebagai sumber, induk dan tolok ukur untuk penilaian baik dan buruk, sehingga dapat dibedakan antara akhlak yang baik/mulia (akhlaq al-karimah) dan akhlak buruk/jahat (akhlaq al-madzmudah)? Bagi orang-orang yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah swt, tentu tidak akan pernah ada keraguan barang sedikitpun bahwa sumber, induk dan tolok ukur tertinggi akhlak adalah Allah swt. Dialah Yang Maha Benar (al-Haq) dan daripada-Nya asal-usul kebenaran itu. Dia pula Yang Maha Adil (al-Adl) dan daripada-Nya keadilan absolut berasal. Berasal dan berawal dari-Nya dan akan terpulang kepada-Nya, segala amal manusia baik yang tergolong bermoral maupun amoral. Ajaran demikian itu telah sampai pada semua manusia melalui agama yang diwahyukan kepada para Rasul dan selanjutnya oleh para Rasul diajarkan, dijelaskan bahkan dicontohkan dalam segala aspek kehidupan. Inilah yang saya sebut dengan moral religius.

Moral religius merupakan moral kehidupan. Apabila kita sepakat bahwa seluruh aspek kehidupan tidak ada yang bebas, lepas dan netral dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan, maka sebenarnya apa yang disebut moral religius menjadi identik dengan moral ilmu hukum. Jangkauan dan cakupan moral religius menjadi sangat luas, menyeluruh dan menyentuh semua sendi-sendi kehidupan bagi siapapun, di manapun dan kapanpun. Dengan kata lain, moral religius atau moral ilmu hukum bersifat universal.

Dalam keuniversalannya, moral religius mengandung karakteristik sebagai berikut:

Pertama, berkarakter teistik. Tuhan itu Esa, dan dengan keesaan-Nya telah meliputi segalanya, sehingga tidak tersisa barang sedikit pun untuk men-Tuhan-kan yang selain Allah swt. Nilai-nilai moral absolut hanya ada pada Dia, dan oleh sebab itu segala bentuk aktivitas manusia, termasuk dalam berolah ilmu hukum harus berporos, berproses, dan bermuara kepada-Nya. Dengan kata lain, ilmu hukum yang bermoral adalah ilmu hukum yang dibingkai oleh pandangan dunia yang teistik. Sebaliknya, terhadap ilmu hukum yang menempatkan selain Allah swt sebagai ukuran kebaikan, kebenaran dan keadilan, pantas dipertanyakan komitmen moralnya. Dalam konteks ini semestinya, kita ingat akan sentilan Allah swt dalam firman-Nya yang berbunyi: ”Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50).

Kedua, berkarakter manusiawi. Moral religius, sebagaimana agama itu sendiri adalah tiang kehidupan. Moral religius menjamin terwujudnya kehidupan manusia agar tegak dan konsisten, tidak mudah tergoyahkan oleh berbagai perubahan dan hasutan yang membawa kepada kerusakan. Berolah ilmu hukum atas dasar moral religius, pada dasarnya beraktivitas dalam pemenuhan tuntutan fitrah manusia. Ilmu hukum yang bermoral adalah ilmu hukum yang mampu menjadi pemandu dan obat kerinduan manusia pada kebaikan, kebenaran dan keadilan absolut. Oleh sebab itu, ilmu hukum dituntut bersifat fasilitatif terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia baik lahir maupun batin. Ilmu hukum harus mampu memanusiakan manusia seutuhnya, dan mampu mencegah, membetengi, dan melindungi dari setiap upaya yang melanggar hak asasi manusia.

Ketiga, berkarakter realistik. Moral religius menaruh perhatian terhadap kebebasan, kelebihan maupun kelemahan yang melekat pada diri setiap manusia. Realitas seperti itu benar-benar diperhatikan, sehingga walaupun semua manusia telah dititahkan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding makhluk-makhluk lain, akan tetapi realitas yang terjadi dapat sebaliknya yakni manusia berada jauh di bawah martabat seekor binatang. Dalam kondisi seburuk apapun, moral religius mampu memberikan jalan keluar terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia karena keterbatasannya itu. Terbuka ampunan terhadap orang-orang yang terlanjur menganiaya diri sendiri, tetapi kemudian sadar akan kesalahannya dan segera mohon ampun serta segera kembali ke jalan yang benar. Terhadap orang-orang melanggar hukum Tuhan karena terpaksa (bukan karena sengaja), tiadalah diketegorikan dia berdosa. Moral religius, dengan demikian sangat peduli terhadap realitas plural yang dihadapi setiap manusia, termasuk pluralitas hukum, asalkan kemajemukan itu masih dalam bingkai kebebasan yang dituntunkan agama.

Keempat, berkarakter holistik. Sebagaimana kita sadari bahwa ilmu hukum akan selalu eksis bersamaan dengan eksistensi manusia. Manusia dalam eksistensinya, tidaklah berdiri sendiri dan terpisah dari entitas lain. Dalam proses kehidupan akan selalu ada komunikasi dan interaksi dengan entitas lain, baik vertikal terhadap Tuhan maupun horizontal terhadap makhluk-makhluk lain. Moral religius menyediakan ruang-gerak untuk berlangsungnya keseluruhan komunikasi dan interaksi tersebut. Derajat, kualitas dan moralitas ilmu hukum akan terlihat dari seberapa besar ruang-gerak yang diberikan oleh ilmu hukum dalam memfasilitasi proses komunikasi dan interaksi keseluruhan entitas, sehingga menjadi jelas bahwa tidak ada entitas manapun yang terabaikan. Moralitas religius senantiasa mendorong kesatuan yang mendasari tatanan penciptaan maupun tujuan penciptaan semua makhluk, dalam dimensi waktu lampau, kini maupun yang akan datang, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dengan begitu, ketika ada perbedaan persepsi, pandangan, konsep, teori dan apapun di antara entitas yang eksis dalam kehidupan ini, maka yang terjadi adalah saling menyapa, saling memberi, saling berbagi dan bukan saling membenci, mencaci, ataupun mereduksi. Moralitas religius senantiasa menempatkan dan menghormati setiap entitas dalam kedudukannya sebagai subjek dan tidak sekali-kali mengobjekan pihak lain. Ilmu hukum yang bermoral religius senantiasa merengkuh pandangan holistik dalam menggarap objeknya, dan tidak sekali-kali membuang ataupun menafikan eksistensi sebuah entitas. Dalam konteks ini kita telah diingatkan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam suatu ukuran tertentu dan menetapkan baginya suatu tujuan. ”Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apapun yang ada di antara keduanya tanpa hikmah . . . (as-Shaad: 27).

Secara teoritis, hukum Indonesia tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa Indonesia. Hukum tertinggi Negara, UUD 1945, dimulai dengan klausal “berkat ramat Allah”, mengandung prinsip dasar Ketuhanan yang Maha Esa dan pengakuan terhadap agama. Agama adalah sumber moralitas yang paling kokoh bagi bangsa Indonesia. Moralitas sebagai nilai baik buruk berasal dari agama, hati nurani, dan pikiran yang sehat.

Dalam Islam, ketiga hal ini menjadi satu. Sementara itu hukum pada awalnya adalah nilai-nilai moral yang disepakati menjadi nilai-nilai hukum sehingga menjadi aturan hukum atau perundang-undangan. Karena itu, hukum yang langsung berasal dari moralitas akan mendapat penghormatan dari masyarakat karena hukum tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, hukum, moral, dan agama merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Agama merupakan aturan yang merangkum tentang nilai-nilai akhlaq yang baik yang merupakan aplikasi konkrit dari sebuah moralitas. Sehingga hukum disini adalah nilai-nilai moral yang disepakati menjadi nilai-nilai hukum sehingga menjadi aturan hukum atau perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, nilai-nilai yang diajarkan agama berupa akhlaq yang merupakan apilkasi langsung dari nilai moralitas yang baik akan menjadi landasan pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan.

Kode etik profesi hakim merupakan sebuah hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tetap dan tegas yang bersumber dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama berupa akhlaq yang melahirkan nilai-nilai moralitas hakim yang baik. Dan hakim dalam menjalankan etika profesinya sudah pasti harus diikuti pula dengan keimanan seorang hakim terhadap agamanya karena hal tersebut akan menunjukan moralitas yang dimiliki oleh seorang hakim sehingga ia akan menjalankan etika profesinya dengan baik.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan adanya kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya harapannya adalah untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Tetapi kenyataannya sekarang Hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik.

Untuk itu, butuh adanya suatu landasan bagi hakim untuk menerapkan kode etik profesinya dalam praktek sehari-hari. Hal ini karena kode etik hanya merupakan sebatas aturan saja. Adanya Komisi Yudisial ataupun komisi yang dibentuk oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) belum mencukupi dalam mengawasi hakim menjalankan tugasnya. Dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik profesinya tersebut.

Hal ini dikarenakan, kode etik profesi hakim merupakan sebuah hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tetap dan tegas yang bersumber dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama berupa akhlaq yang melahirkan nilai-nilai moralitas hakim yang baik. Dan hakim dalam menjalankan etika profesinya sudah pasti harus diikuti pula dengan keimanan seorang hakim terhadap agamanya karena hal tersebut akan menunjukan moralitas yang dimiliki oleh seorang hakim sehingga ia akan menjalankan etika profesinya dengan baik.

Sebuah aturan (kode etik) yang bersumber dari nilai-nilai kebaikan sudah tentu akan bisa dijalankan dengan niat dan cara yang baik pula.

B. Saran

1. Hendaknya para Hakim harus memahami dan menyadari kode etik profesinya agar dapat diaplikasikan sehingga apa yang menjadi tujuan adanya kode etik tersebut dapat tercapai.

2. Dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik profesinya tersebut

3. Harus ada sanksi yang tegas bagi para hakim yang melanggar etika profesinya dalam hal ini bisa berfungsi sebagai langkah preventif agar hakim enggan melanggar kode etik tersebut dan sebagai langkah represif yang tegas ketika hakim melanggar kode etik tersebut.

4. Hendaknya kepada masyarakat agar segera melaporkan apabila mengetahui ada hakim yang melanggar kode etik profesinya agar bisa ditindaklanjuti.

5. Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berfungsi untuk mengawasi hakim, hendaknya lebih peka dan tegas dalam menangani hakim-hakim yang bermasalah demi menjaga kredibilitas hukum di Indonesia.

No comments:

Post a Comment