Friday 5 May 2017

Sinergi Sekolah dan Keluarga Kunci Keberhasilan Pendidikan Karakter



Bertepatan dengan Hari Pendidikan pada tanggal 2 Mei 2017 yang lalu, saya mencoba melakukan refleksi terhadap pendidikan kita. Dimana dalam beberapa waktu terakhir, telah digulirkan program pendidikan karakter melalui kebijakan baru Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Muhadjir Effendi  melalui kebijakan sekolah sehari penuh (full day school). Sampai saat ini sudah beberapa sekolah negeri yang telah memulai untuk menerapkannya.

Namun, ada juga suara - suara sumbang yang pesimis terhadap keberhasilan kebijakan itu dengan alasan pihak sekolah yang dianggap tidak siap. Selain itu, muncul pertanyaan apabila fullday school diterapkan bagaimana peran orang tua dalam pendidikan karakter anak? siapakah penanggungjawab utama pendidikan karakter sebenarnya?

Pihak yang merasa pesimis dengan keberhasilan kebijakan ini, umumnya adalah karena penilaian terhadap guru yang dianggap belum mampu menerapkan manajemen pendidikan yang baik di sekolah. Pada sisi lain, ada ketidakpercayaan diri dari seorang tenaga pendidik. Bisa jadi ketidakpercayaan diri itu muncul karena belum terinternalisasi standar moral pendidik untuk mempunyai kapasitas guru sebagai sosok yang isa digugu lan ditiru. Sebagaimana ajaran Ki Hajar Dewantara.

Selain pada sisi tenaga pendidik yang harus menjadi garda terdepan di dalam proses pendidikan karakter di sekolah. Menurut Mohammad Ali (2017), seorang pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menuturkan tuntutan peran sekolah harus semakin profesional dan terencana karena full day school bukan sekedar tambah jam pelajaran. Akan tetapi juga perlu energi tambahan bagi pendidiknya terutama kepala sekolah dan guru untuk menjadi teladan utama di dalam proses pendidikan karakter.

Saya sepenuhnya sepakat dengan pendapat tersebut. Namun, sepertinya ada sisi yang terlewat di dalam mengungkap kunci keberhasilan pendidikan karakter tersebut yaitu sinergi antar institusi  lembaga sekolah dengan lembaga inti yaitu keluarga. Secara sosiologis, keluarga adalah lembaga primer atau inti dalam proses pendidikan karakter anak, sementara sekolah adalah lembaga kedua.  Kebijakan full day school tidak kemudian otomatis menggantikan secara penuh peran orang tua siswa di dalam mendidik anaknya dengan akhlak mulia di keluarga. Oleh karenanya, membebankan sepenuhnya tanggungjawab pendidikan karakter kepada institusi sekolah tentu tidak sepenuhnya bisa diterima. Meskipun secara waktu anak lebih banyak yang dihabiskan di sekolah daripada di rumah.

Untuk sekolah negeri yang akan menerapkan full day school tak ada salahnya untuk saling belajar kepada sekolah yang lebih dulu menerapkan metode ini untuk penerapan pendidikan karakter. Bolehlah saya mengambil ilustrasi singkat tentang bagaimana keberhasilan Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Nur Hidayah Surakarta, sebuah sekolah swasta Islam yang telah menerapkan full day school sejak berdirinya sampai saat ini. Dengan hasil pendidikan karakter yang relatif berhasil dan selalu masuk tiga besar tingkat Kota Solo dalam hal prestasi belajar siswanya. Bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari Presiden Jokowi.

Di sekolah yang menerapkan sekolah seharian penuh tersebut keberhasilan yang diraihnya ternyata bukan semata – mata peran pendidik di sekolah. Akan tetapi, karena adanya sinergi antara institusi sekolah dengan institusi keluarga yang dapat berjalan seiring sepemahaman melalui pernak pernik program kegiatan yang disusun secara bersama. Itulah yang menjadi faktor kuncinya. Di sini tak hanya anak yang sekolah, orang tuanya pun ikut “sekolah” dan harus rela sedikit repot dengan berbagai urusan pendidikan anaknya. Pertemuan orang tua melalui Forum Orang Tua Murid Guru (FOMG) rutin diagendakan tiap bulan sebagai sarana komunikasi, bahkan Grup Orang Tua dan Guru Wali Kelas di media online tiap hari tidak ada istirahatnya. Melalui media itu dilakukan diskusi intensif parenting, juga perkembangan pendidikan anak, permasalahan dan mencari solusi bersama.

Kenapa perlu sinergi kedua institusi pembentuk karakter anak ini? Karena zaman kita saat kecil masih sekolah dengan zaman anak kita saat ini jauh berbeda dengan segala tantangannya. Saat ini kita menghadapi tantangan zaman teknologi informasi yang demikian canggih dan menjadikan pola pendidikan juga harus menyesuaikan perkembangannya. Kondisi berbeda manakala kita saat sekolah dulu di era 80 – 90an atau jauh sebelum itu, saat itu pola pergaulan yang konvensional dan tradisional menandai suasana keseharian. Kala itu, institusi sekolah menjadi utama dalam membangun karakter anak. Sekolah benar – benar menjadi mandiri dan independen lantaran orang tua sepenuhnya menyerahkan anaknya untuk dididik dan diajar selama setengah hari, sisanya di rumah menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Sementara orang tua datang ke sekolah saat tertentu saja, mengambil raport atau rapat orang tua wali murid dalam penetapan SPP dan kemudian mengambil ijazah. Meski, ada juga orang tua yang sering dipanggil ke sekolah oleh Guru Bimbingan Konseling apabila anaknya bermasalah dengan pelanggaran aturan sekolah.


Lain zaman lain tantangan. Berbeda kondisi saat ini, derasnya arus teknologi informasi, kontrol terhadap anak dari orang tua harus semakin meningkat dan intensif. Kemudian tantangan itu berusaha dijawab dengan ikhtiar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk sekolah menjalankan full day school. Tujuannya adalah mengurangi  dampak negatif pergaulan luar sekolah di era digitalisasi teknologi informasi dan meningkatnya kesibukan orang tua yang bekerja di luar rumah.  Namun, sekali lagi sekolah seharian penuh bukanlah untuk mereduksi peran orang tua yang sibuk bekerja di dalam mendidik anak. Melainkan upaya untuk menambah kesibukan orang tua untuk terlibat secara aktif mendidik anak secara full day juga sehingga dengan sinergi institusi keluarga dan sekolah, pendidikan karakter itu terwujud pada diri anak Indonesia. Semoga.

Selamat HAri Pendidikan Nasional 2017.

Nunik Nurhayati, SH, MH
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (FH UMS) , Pegiat di Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA) Benih Solo