Showing posts with label artikel. Show all posts
Showing posts with label artikel. Show all posts

Monday, 17 June 2013

happy breakfast :)


Banyak orang menyepelekan makan pagi atau sarapan. Alasannya, takut mengantuk di kala kerja. Atau sudah terbiasa tidak sarapan. Bahkan seorang ibu beralasan, “Anak-anak lagi aktif-aktifnya. Kalau disuruh sarapan nanti mereka kehilangan waktu buat main, kan makannya lama.”
Padahal menurut Ahmad Faridi, SP, Kepala Program Studi Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, sarapan sangat baik dan penting bagi tubuh. Pada malam hari, saat tubuh istirahat, ternyata semua organ metabolisme tubuh tetap bekerja. Hingga ketika pagi datang, lambung sudah kosong dan butuh diisi lagi.
Bayangkan sebuah mobil dengan bensin yang terbatas atau bahkan kosong. Tentu tidak akan lancar saat dipakai. Begitu juga tubuh kita. Sarapan ibarat bensin yang menjadi ‘bahan bakar’ untuk beraktivitas. Tanpanya kita akan lemas, mengantuk, kurang konsentrasi dan performa tubuh turun.

Saturday, 8 June 2013

Hukum Hadiah dalam Islam

Segala puji hanya bagi Allah. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah semata, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Amma ba’du.

Termasuk perkara yang tidak diragukan lagi, bahwa hadiah dalam kehidupan antar individu dan komunitas manusia memiliki pengaruh yang signifikan untuk terwujudnya ikatan dan hubungan sosial, momen-momennya senantiasa terulang setiap hari di acara-acara keagamaan, kemasyarakatan, dan selainnya. Dengan hadiah, terwujudlah kesempurnaan untuk meraih kecintaan, kasih sayang, sirnanya kedengkian, dan terwujudnya kesatuan hati.

Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati, padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan. Dan oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan menganjurkan untuk saling memberi hadiah serta menganjurkan untuk menerimanya.

Al Imam Al Bukhari telah meriwayatkan hadits di dalam Shahihnya (2585), dan hadits ini memiliki hadits-hadits pendukung yang lain. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan membalasnya.”

Dan di dalam Ash Shahihain (Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila diberi makanan, beliau bertanya tentang makanan tersebut, “Apakah ini hadiah atau shadaqah?” Apabila dikatakan, “Shadaqah” maka beliau berkata kepada para shahabatnya, “Makanlah!” Sedangkan beliau tidak makan. Dan apabila dikatakan “Hadiah”, beliau mengisyaratkan dengan tangannya (tanda penerimaan beliau -pent). Lalu beliau makan bersama mereka. (HR. Al Bukhari [2576] dan Muslim [1077])

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

“Hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, lihat Shahihul Jami’ [3004] dan Al Irwa’ [1601])

Friday, 7 June 2013

"Membentuk Keluarga Islami"

oleh: Ustadz Bendri Jaisy

Bab mengenai pernikahan selalu menarik dan penting untuk dibahas. Bukan hanya karena soal romantisme-nya. Sebab pernikahan bukan hanya tentang bulan madu. Malah, nyatanya, lebih banyak bulan racun daripada bulan madu. Persoalannya, apakah kita punya penawarnya?

Lebih dari itu, pernikahan –menggunakan istilah Ustadz Anis Matta, adalah peristiwa peradaban. Keputusan pernikahan adalah salah satu keputusan paling penting dalam hidup, jauh lebih penting dari keputusan memilih sekolah terbaik, kampus terbaik, tempat kerja terbaik, dan seterusnya. Karena, sekali lagi, pernikahan adalah peristiwa peradaban. Bukan hanya soal mengubah tatanan demografi masyarakat, tetapi pernikahan membuka pintu untuk generasi baru, yang bisa jadi, melalui mereka tugas kekhalifahan manusia terlaksana. 

Sayangnya, ketika membicarakan pernikahan dan persiapannya, biasanya kita akan berfokus pada dua hal: harta dan mental. Padahal ada satu hal yang sangat penting, yang menjadi kunci kesuksesan pernikahan, yaitu ilmu. Bukan hanya ilmu mengenai tata cara mengkhitbah atau wawasan ke-Islaman dasar, tetapi juga, yang ditekankan dalam bahasan sederhana ini, ilmu merekayasa dan memelihara sebuah generasi terbaik. 

Sumber Daya Manusia (SDM) terbaik sesungguhnya bukan diciptakan di kampus-kampus, sekolah-sekolah, atau institusi lain yang kita sebut “pendidikan”. SDM terbaik lahir dari keluarga. Didikan keluarga adalah pondasi bagi semua pendidikan lain di luar keluarga. Sebuah riset yang dilakukan oleh beberapa departemen di FISIP UI bersama KPK menemukan bahwa para pelaku koruptor (yang telah terbukti bersalah dan ditahan) memiliki masalah sewaktu dibesarkan dalam keluarganya dulu. 

Mengenai SDM terbaik, Rasulullah SAW. pernah bersabda: 
“Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih) 

Salah satu ciri SDM terbaik, jika mengacu pada generasi Rasulullah SAW., adalah usia karakter yang jauh lebih matang melampaui usia fisiknya. Dan semua ini dihasilkan dari keluarga yang berkualitas. Sehingga, berbicara visi pernikahan bukanlah sekadar tentang menjadi suami/istri, tetapi juga menjadi ayah/ibu, dan juga tentang mencari ayah/ibu terbaik bagi generasi yang kita lahirkan kelak. Tentang pendidikan anak, kita sering mendengar pepatah Arab, “Ibu adalah madrasah bagi anaknya.” Pepatah ini benar, namun sebenarnya masih memiliki lanjutan, yaitu “.. dan ayah adalah kepala sekolahnya.” Maka, pendidikan anak bukan hanya soal ibu dan anak, tetapi bahkan ayahlah yang paling bertanggung jawab atas visi,perencanaan, pelaksanaan juga evaluasi pendidikannya. 

Islam sendiri mengangkat tinggi peran ayah dalam pendidikan anak. Dalam Al-Quran, secara keseluruhan ada 17 dialog tentang pengasuhan, yang tersebar diantara 9 surat. Terdapat 14 dialog antara ayah dan anak, 2 dialog antara ibu dan anak, dan hanya 1 dialog antara guru dan murid. Cukup mengejutkan bukan? Di saat hari ini masyarakat kita menganggap amanah membesarkan anak “dibebankan” kepada ibu saja, sehingga menyebabkan banyak perempuan menunda-nunda pernikahan dengan alasan ingin mengejar cita-cita, karir, dan lain sebagainya sebelum ia harus berhenti untuk mengurusi anak-anaknya. Paradigma ini juga menimbulkan kecemburuan bagi kelompok perempuan tertentu terhadap kaum laki-laki, sehingga mempertanyakan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. 

Terlepas dari perdebatan mengenai hal tersebut, poin pentingnya adalah perlunya pelurusan paradigma tanggung jawab mendidik anak. Prinsip pendidikan ayah dan ibu adalah saling mengisi, tidak berarti bergantung pada salah satu saja. Namun peran ayah sangat ditinggikan. Seorang bijak pernah berkata, “Jika ada anak yang durhaka, perhatikan ayahnya.” 

Bahkan, tanggung jawab pendidikan anak pada (calon) ayah sudah ada sebelum anak tersebut tercipta dalam kandungan, yaitu, sebagaimana Umar bin Khatthab pernah berkata, “Hak anak atas orang tuanya adalah dipilihkan ibu yang shalihah.” sementara dua hak anak lainnya terpenuhi manakala anak tersebut telah lahir, “lalu mengajarkan Al-Qur’an, dan memilihkan nama yang baik.” 

Ketika anak berada dalam kandungan, suami memiliki kewajiban untuk menyenangkan istrinya. Seorang ibu yang hamil pada dasarnya hanya memiliki tiga macam aktivitas, sebagaimana yang Allah kisahkan dalam surah Maryam ketika Maryam mengandung, “ Maka makanlah dan minumlah dan senangkanlah hatimu …” (QS. Maryam: 26). 

Ada tradisi Islam yang semakin hilang, yaitu tradisi dimana masyarakat ikut menjaga, memudahkan, membantu, dan membahagiakan muslimah yang sedang mengandung, dan ketika kandungannya lahir disambut dengan suka cita sebagai “bayi ummat ini.” 

Kita sepatutnya curiga, jangan-jangan di rahim seorang muslimah, terlebih di rahim istri kita, ada ulama dan mujaddid (pembaharu) yang Allah titipkan, yang kelak akan membawa ummat muslim berdiri tegak memimpin dunia dan mensejahterakan alam" 

Maka bersiaplah..menjadi istri/suami, ayah/ibu, dan juga mjd bagian dr anggota masyarakat..yg mengambil bagian penting dalam peradaban ini :)

oleh: Ustadz Bendri Jaisyurrahman
di Alumni Gathering PPSDMS Nurul Fikri, Sabtu 25 Mei 2013 
dinotulensikan oleh @yasir dengan beberapa penyesuaian. 

#noted,biar ingat dan semoga bermanfaat untuk yang membaca :)

Wednesday, 30 March 2011

Ryosai Kentro : senggyo syuhu, kyoiku mama

Ada sebuah karikatur yang menggelitik tentang peran dan status ibu rumah tangga yang diangkat oleh Elizabeth B.Hurlock dalam bukunya Psikologi Perkembangan, 1994.Bisa jadi gambar itu mewakili pendapat sebagian besar perempuan tentang peran dan status ibu rumah tangga yang mereka anggap kurang adil dan kurang memberdayakan bagi kaum mereka. Para ibu ini merasa begitu dibebani oleh sedemikian banyak pekerjaan dan terjebak dalam rutinitas yang membuatnya frustrasi dan kelelahan. Belum lagi kurangnya apresiasi yang layak atas apa yang telah mereka lakukan, membuat mereka jadi menganggap diri tak berharga jika hanya menyandang status ibu rumah tangga semata.

Selanjutnya demikian menurut Hurlock:
Sikap yang tidak positif ini diperkuat oleh ”sindrom suami yang malas”. Sang istri marah melihat suaminya menganggap pekerjaan rumah tangga itu gampang dan dapat dikerjakan dengan bersantai-santai dan bersenang-senang, sedangkan ia bekerja dari pagi hingga malam, selama tujuh hari dalam satu minggu, terus menerus.

Sindrom suami yang malas digambarkan sebagai berikut: Suami pada akhir suatu hari yang ”panjang” di kantor yang ber-AC, ketika pulang tinggal minta minum, merebahkan dirinya dengan letih di kursi dengan koran di tangan atau di hadapan televisi. Sejam kemudian ia bangun untuk makan malam, mengeluh bahwa daging kurang matang, mencium pipi istri dan kemudian keluar rumah dengan tim bowlingnya, minum bir, pulang menonton televisi lagi, kemudian merebahkan dirinya di tempat tidur. Sementara itu istrinya, yang telah bekerja sepanjang hari, mempersiapkan makanan, mencoba mengatur anak-anak supaya suami dapat beristirahat, menyuap bayi, menghidangkan makanan, mencuci piring, memberi makan anjing, memandikan anak-anak, meninabobokan mereka, memasukkan cucian ke mesin cuci, menyeterika, menonton televisi selama satu jam sambil menisik. Ini berlangsung hari demi hari. Suami merasa bahagia, tetapi istrinya lambat laun merasa kurang bahagia, tegang dan letih. (hal 272).

Berseberangan dengan apa yang dituliskan Hurlock, kaum Ibu di Jepang justru merasa bahagia, tersanjung dan dimuliakan dengan jabatan dan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Istilah Ryosai Kentro (istri yang baik dan ibu yang arif) menggambarkan suatu kebijakan yang memposisikan kaum wanita sebagai ‘penguasa rumah’, yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di rumah. Dari mulai pekerjaan- pekerjaan rumah tangga, masalah keuangan, dan pendidikan anak.

Bahkan mereka tak segan-segan mengundurkan diri dari karir mereka demi mengasuh dan mendidik sendiri anak-anak mereka di rumah. Rilis Kementerian Kesehatan-Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang tanggal 17 Maret 2004 mengungkapkan bahwa 61% ibu muda Jepang meninggalkan pekerjaannya diluar rumah setelah melahirkan anak pertama. Hal ini mungkin juga karena pandangan tentang peran ganda perempuan – yaitu sebagai ibu sekaligus wanita pekerja –dianggap sebagai chuto hanpa- alias peran tanggung, tidak populer di Jepang. Menjadi ibu manusia Jepang atau tidak sama sekali, itu pilihannya. Menjadi ibu rumah tangga dianggap sama profesionalnya dengan wanita pekerja Jepang- wanita tidak menikah/menikah tidak melahirkan anak yang bisa mencapai jabatan yang setinggi-tingginya apabila dia sanggup dan mampu.

Astronout wanita Asia pertama, bahkan mungkin yang pertama pula di , terbang dua kali dengan NASA, space-shuttle Columbia-Juli 1994 dan Discovery-Nov 98, adalah wanita Jepang, Dr. Chiaki Mukai. Menlu sekaligus Deputi Perdana Menteri dari negara super economic power sekaligus bangsa tersejahtera di dunia serta memiliki harapan hidup terlama, dan sedang berjuang meningkatkan peranan Jepang di Dewan Keamanan PBB, adalah seorang wanita, Yoriko Kawaguchi.

Motivasi utama para wanita Jepang yang memilih karirnya sebagai ibu rumah tangga profesional (senggyo syuhu) maupun sebagai ibu pendidikan (kyoiku mama) adalah untuk melaksanakan ikuji-meletakkan dasar pendidikan berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya, terutama di masa-masa emas, yaitu pada usia tiga tahun pertama masa perkembangan pesat otak seorang anak.

Kyoiku Mama adalah istilah yang mengacu pada Ibu-ibu Jepang yang terus menerus mengembangkan bakat anak-anak mereka dan menyekolahkan mereka di Universitas terbaik. Seorang pengamat Jepang, Reingold, mendefinisikan Kyoiku Mama sebagai berikut : She becomes directly involved in and identified with the child’s succes or failure. Terjemahan bebasnya : Para ibu pendidikan itu secara langsung terlibat dalam kesuksesan atau kegagalan anak-anaknya. Dan mereka juga dinilai berdasarkan kesuksesan atau kegagalan mereka. Ibu-ibu pendidikan Jepang, Kyoiku Mama, mengajarkan disiplin, pengorbanan, kerja sama dan kesederhanaan di rumah. Sekolah, yang mengajarkan hal-hal akademis, tidak direpotkan lagi dengan masalah-masalah perilaku anak didik karena nilai-nilai luhur telah melebur dalam karakter setiap siswa sejak dari rumah.

Para ibu di Jepang memiliki gelar kesarjanaan yang mentereng, walaupun mereka ‘hanya’ bertugas mengurusi rumah. Mereka beranggapan bahwa pendidikan yang mereka tempuh selama ini tidak sia-sia yakni untuk memperjuangkan pendidikan anak-anak mereka ketimbang mengejar karir dan cita-cita. Jika mereka ditanya, “Mengapa berhenti bekerja. Apakah tidak sayang pendidikannya yang tinggi tidak dipakai?” gantian mereka bertanya, “Apakah di rumah itu tidak memerlukan pendidikan yang tinggi?”. Mereka lebih suka banyak tinggal di rumah untuk membuat makan siang, mencuci dan menyetrika seragam sekolah dan terus menerus memotivasi anak-anaknya untuk bekerja keras meningkatkan prestasi akademis mereka. Dan mereka lebih senang disebut sebagai wanita yang sukses dalam mencetak anak-anaknya yang berhasil, dan bukan karier mereka. Terbukti sistem ini sungguh berhasil dalam meningkatkan laju kemakmuran Jepang.

Tak heran jika anak-anak di Jepang , pria dan wanita, sangat sayang dan mengagumi ibu-ibunya. Sebagai jelmaan Dewi Amaterasu yang dipuja oleh bangsa Jepang. Kikunatara okasan ni naritai (kalau besar ingin menjadi ibu) adalah cita-cita anak perempuan Jepang yang mungkin langka dimiliki oleh anak-anak perempuan di Indonesia.

Di Indonesia, kebanyakan para perempuannya merasa sayang jika pendidikan tinggi mereka hanya berakhir di pekerjaan rumah tangga. Akibatnya anak Indonesia dari golongan ibu berpendidikan malah berada dalam haribaan para pembantu rumah tangga dan baby sitter. Karena kedua orang tuanya bekerja, anak-anak mereka diasuh dan dididik oleh pembantunya. Memang anak-anak itu bisa menyelesaikan pendidikan yang setinggi-tingginya dan mendapat dukungan finansial yang kuat. Tetapi ada satu hal yang berbeda yaitu: pola pikir dan jiwa mereka bukan duplikasi dari orang tuanya mereka – tetapi duplikasi dari pembantunya.
Padahal R.A.Kartini dalam salah satu suratnya juga berpendapat bahwa anak-anak perempuan perlu mendapat pendidikan adalah agar perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan oleh Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu-pendidik manusia yang pertama-tama. (4 Oktober 1902 Kepada Tn Anton dan Nyonya. Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane. PN Balai Pustaka 1985)

Simaklah pengalaman Mulia Kuruseng (www.Hidayatullah.com) yang meskipun tak memiliki gelar akademis tinggi, namun mampu mengantar 15 anaknya meraih gelar kesarjanaan, hanya dengan modal: IKHLAS.

Saya ingin mengajak para Ibu untuk berintrospeksi, melakukan flashback ke zaman para ibu kita dahulu. Bandingkan betapa banyak bedanya kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan generasi kita dan sebelumnya. Para Ibu kita dahulu mungkin jauh kurang berpendidikan dibanding kita sekarang, namun mampukah kita menghasilkan generasi penerus yang lebih baik daripada yang dihasilkan oleh ibu-ibu kita? Perhatikanlah, bahwa orangtua kita telah menjadikan kita seperti sekarang ini karena sikap hidup mereka yang PRIHATIN, DISIPLIN dan TANPA PAMRIH. Mereka mengajarkan nilai- nilai budi pekerti bukan melalui omongan tetapi tindakan. Melalui contoh dan teladan dalam sikap hidup sehari-hari. Dan itu lebih efektif bagi anak-anak untuk menyerapnya. Bukankah: orangtua berbuat, anak melihat. Orangtua melakukan, anak meneladan. Bagaimana dengan kita, para ibu generasi sekarang?

Jangan takut menjadi ibu rumah tangga. Jangan merasa rendah diri dan tak berharga karenanya. Semua itu tergantung dari paradigmanya, apakah kita menganggap peran dan status ibu rumah tangga sebagai kutukan atau sebagai berkat. Sebagai berkat, paling tidak sudah ada satu modalnya.

Sebuah studi yang dilakukan Pusat Kanker Nasional Jepang di Tokyo membuktikan orang dewasa yang beraktivitas secara rutin, baik melalui olahraga maupun bekerja, berisiko lebih rendah mengalami kanker tipe apa pun. Aktivitas fisik yang dimaksud antara lain adalah olahraga rekreasi, berjalan, pekerjaan buruh, dan pekerjaan rumah tangga.

Breast Cancer Research, sebagaimana dilansir dalam situs BBC mengatakan bahwa latihan fisik secara teratur, seperti lari, aerobik, atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang berat seperti berkebun, membersihkan perabot rumah dari debu, mengepel lantai dan membersihkan karpet dengan vacuum cleaner atau memasak, membersihkan rumah dan mencuci yang menghabiskan waktu rata-rata 16 hingga 17 jam setiap minggunya lebih baik ketimbang melakukan pekerjaan lain yang menguras fisik dalam menurunkan tingkat risiko terkena kanker payudara hingga 30 persen. Hal ini merupakan hasil studi selama 11 tahun terhadap 32.000 perempuan. Para peneliti lainnya yang telah melakukan riset ini terhadap 200 ribu wanita dari 9 negara bagian Eropa membuktikan bahwa mereka yang rajin beres-beres rumah lebih terlindung dari bahaya kanker ketimbang wanita yang hanya berolahraga.

Aktif di rumah dan mengerjakan segala kegiatan rumah tangga bagi wanita pra menopause dapat mengurangi risiko kanker sebanyak 29% dibandingkan dengan mereka yang tidak aktif membersihkan rumah. Sedangkan bagi wanita yang telah menopause, kegiatan ini bermanfaat hingga 19%..

(tulisan ini copas dari beberapa blog yang tidak dicantumkan penulis awalnya.. buat yang uda nulis, Great! Mencerahkan. Walaupun gak 100% juga jadi Ibu rumah tangga, minimal mengingatkan untuk tidak jadi wanita karir 100%. Arigato gozaimas ^^ siap2 belajar jadi Ibu dan Istri yang baik..,Insyaallah)

Wednesday, 8 July 2009

kesiapan pilpres

PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DITINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Sebagai Pengganti Kuis Pada Mata Kuliah
Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta


DISUSUN OLEH:
Nunik Nurhayati (E0005238)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan dalam dua kali pemilihan yaitu untuk memilih anggota legislatif pada tingkat DPR, DPRD, DPRD II, dan DPD dan pemilihan umum untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan umum anggota Legislatif sudah dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 dengan perolehan suara terbesar yang masuk dalam electoral threshold lebih dari 2,5% suara yang diperoleh yaitu Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Hati Nurani. Sedangkan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden akan dilasanakan pada tanggal 8 Juli 2009. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut mengatur pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden secara terperinci, termasuk di dalamnya adalah proses pencalonan sampai pada pelaksanaan teknis pemilihan umum.
Menurut Lawrence Friedmen dalam teorinya menyatakan bahwa sebuah peraturan atau kebijakan dapat dilihat dari 4 hal yaitu legal substantion, legal structure, legal function dan legal culture. Legal substantion dimaksudkan bahwa hukum atau peratuan yang diterapkan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 tidak bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi. Bahkan Undang-undang tersebut menerapkan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat yang dilaksanakan oleh Undang-undang dasar dan pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipiilih secara langsung oleh rakyat. Legal structure dimaksudkan bahwa peraturan atau kebijakan harus disertai dengan komponen pelaksana yang baik. Dalam hal ini, Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 mengatur tentang Komisi Pemilihan Umum yang berfungsi sebagai lembaga negara yang bertugas untuk melaksanakan teknis pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Legal Function dimaksudkan bahwa peraturan atau kebijakan harus memiliki tujuan dan fungsi yang jelas agar maksud dari hukum yang baik dapat terlaksana. Legal Culture dimaksudkan bahwa peraturan atau kebijakan harus bisa dipahami agar masyarakat dapat melaksanakan kebijakan atau peraturan tersebut.
Dari keempat hal berdasar teori Lawrence Friedmen diatas dapat dilihat bahwa keempat hal tersebut sudah memenuhi kriteria Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 sebagai peraturan atau kebijakan yang baik sehingga keberadaan formal yuridisnya sudah tepat. Yang akan menjadi pembahasan adalah legal culture yaitu kesiapan masyarakat dalam melaksanakan aturan yang ada dalam Undang-Undang tersebut. Dalam hal ini harus dikaji lagi secara lebih mendalam agar dapat dilihat apakah undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 yang mengatur tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden benar-benar dapat diterima oleh masyarakat sehingga masyarakat siap mengikuti pelaksanaan pemilihan umum tersebut.
Untuk itu, persiapan dan pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dapat ditinjau dari sosiologi hukum agar bisa dilihat bagaimana keadaan sosial masyarakat dalam hal ini kesiapan masyarakat dalam mengahdapi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden mendatang. Hal ini dikarenakan Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan Sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum,dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
1. Bagaimana kesiapan dari masyarakat Indonesia untuk mengikuti pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden ditinjau dari sosiologi hukum.


BAB II
PEMBAHASAN

Kesiapan Masyarakat Indonesia Untuk Mengikuti Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Ditinjau Dari Sosiologi Hukum.
Definisi sosiologi (1839) yang berasal dari kata latin socius yang berarti “kawan” dan kata Yunani Logos yang berarti “kata” atau “bicara”. Jadi sosiologi berarti “bicara mengenai masyarakat” bagi Auguste Comte sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada
perkembangan ilmu pengetahuan. Comte berkata bahwa sosiologi harus dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak kepada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat. Menurut Soerdjono Soekanto, Hukum adalah gejala sosial, ia baru berkembang di dalam kehidupan manusia bersama. Ia tampil dalam menserasikan pertemuan antar kebutuhan dan kepentingan warga masyarakat, baik yang sesuai atau tidak. Hal ini berlangsung karena manusia senantiasa hidup bersama, saling ketergantungan.
Sehingga, sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala social lain. Ini karena sejak dilahirkan di dunia ini manusia telah sadar bahwa dia merupakan bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia tadi memiliki kebuyaan. Selain itu, manusia sebetulnya telah mengetahui, bahwa kehidupan mereka dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan dan pedoman.
Sosiologi hukum juga dapat membantu untuk memberikan kejelasan mengenai
kemampuan yang ada pada undang-undang serta pengaruh-pengaruh apa saja yang
dapat ditimbulkan oleh bekerjanya undang-undang itu dalam masyarakat. Menurut Soejono Soekanto, sosilogi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya. Menurut R. Otje Salaman. Sosiologi hukum (ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis). Jelas terlihat berdasarkan definisi para ahli bahwa sosiologi hukum adalah segala aktifitas social manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi hukum.
Hukum secara sosiologis adalah merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola-pola perikelakuan yang berkisarpada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia Vinogradoff mengemukakan, bahwa norma hokum itu tumbuh dari pratek-pratek yang dijalankan oleh anggota masyarakat dalam hubungan satu sama lain yaitu pratek-pratek yang dituntut oleh pertimbangan memberi dan menerima dalam hubungan mereka satu sama lain yang diukur oleh pertimbangan kepatutan.
Dengan memerlukan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum, Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif, Hukum Sebagai Sosial Kontrol dan Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, yang merupakan sebagai tolak ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam masyarakat, apakah norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar bagaimana pernerapan sangsi, sebagai yang melakukan pelanggaran tersebut.
Dari penjelasan mengenai sosiologi hukum diatas, maka dapat dijadikan landasan teori bagaimana kesiapan masyarakat dalam menghadapi Pemilihan umum Presiden dan wakil presiden mendatang. Dalam UU nomor 42 Tahun 2008 dimana disana diatur tentang pelaksanaan teknis pemilihan umum presiden dan wakil presiden, dapat dilihat bahwa peran masyarakat sangat besar untuk dapat mensukseskan pesta demokrasi terbesar tahun ini. Untuk itu, dengan melihat perangkat yang dibutuhkan yaitu kesiapan masyarakat itu sendiri akan dapat menjadi acuan untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan pemilihan umum baik untuk KPU sebagai pelaksana teknis ataupun pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk memenangkan pemilihan umum tersebut.
Masyarakat Indonesia belum semuanya tergolong pemilih cerdas. Artinya, dari segi pemahaman makna pemilihan umum itu sendiri, tata cara pelaksanaan pemilihan umum, bahkan sampai pada pemahanan mngenai kualitas calon yang akan dipilih dalam pemilihan umum. Hal ini terbukti dengan hasil dari pemilihan umum legislatif yang lalu dimana calon anggota DPD no.31 di 12 propinsi di Indonesia lolos menjadi anggota DPD. Padahal, sosok dari calon DPD ini bisa dikatakan tidak familiar di masyarakat. Hal ini di karenakan, asumsi masyarakat yang saat ini dsedang terhevoria dengan nomor urut partai no.31 yang sedang menjadi partai besar tahun ini di Indonesia.
Hal ini harus menjadi perhatian lebih dari berbagai pihak terutama KPU sebagai pelaksana pemilihan umum. Karena bagaimanapun juga, keberhasilan pemilihan umum dari segi kualitas dan kuantitas pemilih adalah harapan dari seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Untuk itu, dari ilmu sosiologi hukum, dapat diambil uraian bahwa masyarakat Indonesia belum siap untuk melakukan pemilihan umum secara langsung. Tetapi, karena amanat UUD 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana agar masyarakat dapat siap menghadapi pemilihan umum tersebut. Maka,cara yang bisa dilakukan dengan waktu yang tidak banyak adalah kerja keras dari stockholder pemilihan umum untuk mencerdaskan masyarakat agar siap menghadapi pemilihan umum.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pelaksana teknis pemilu harus mensosialisasikan dengan efektif mengenai tata cara pemilihan umum. Hal ini harus dilakukan mengingat angka golput pemilihan legislatif yang lalu cukup banyak dikarenakan alasan rumit dalam pencontrengan. Dikhawatirkan, persepsi masyarakat akan sama dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden kali ini padahal pencontrengan lebih mudah karena hanya satu kali mencontreng. Walaupun nantinya, menurut UU nomor 42 Tahun 2008, apabila pasangan calon pada putaran I tidak memenuhi 50% lebih suara akan dilakukan lagi pemiliahn umum putaran II yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon dengan suara terbanyak. Itu artinya, masyarakat harus disiapkan untuk mengahadapi pemilihan umum presiden tahap II.
Selain KPU, yang menjadi stockholder dalam pemilihan umum adalah peserta dari pemilihan umum itu sendiri yaitu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Terkait dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi pemilihan umum, maka pasangan calon presiden dan wakil presiden harus melaksanakan kampanye dengan cara yang sehat. Hal ini akan berpengaruh terhadap kecerdasan masyarakat pemilih untuk memilih secara sadar dan terbuka calon yang akan mereka pilih. Tidak bisa dipungkiri bahwa black campaign dengan menggunakan money politik masih sering ditemui dalam pemilihan umum di Indonesia. Peserta pemilihan umum lebih mengandalkan memberikan uang kepada masyarakat dalam kampanye agar masyarakat memilih calon tersebut dibandingkan meyakinkan kepada masyarakat pemilih untuk membuka pemikiran mereka agar dapat memilih yang terbaik dengan keyakinan yang berdasar. Apabila hal ini terus dibiarkan maka pada pemilihan umum selanjutnya hal ini akan terulang dan pemilihan umum yang berkualitas tidak akan pernah tercapai. Untuk itu, diperlukan kedewesaan para calon untuk bertanding secara sehat agar masyarakat juga dapat mendapat pendidikan politik yang baik. Selain itu, dengan kedewasaan para calon, nantinya calon yang kalah akan menerima dengan legowo apapu hasilnya karena semua merasakan pemilhan umum ini dilaksanakna secara baik. Sehingga, tujuan demokrasi yang sebenarnya akan tercapai karena semua pihak menerima apapun hasil yang didapat.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut mengatur pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden secara terperinci, termasuk di dalamnya adalah proses pencalonan sampai pada pelaksanaan teknis pemilihan umum. Sosiologi hukum sebagai ilmu pengetahuan dapat membantu untuk memberikan kejelasan mengenai
kemampuan yang ada pada undang-undang serta pengaruh-pengaruh apa saja yang
dapat ditimbulkan oleh bekerjanya undang-undang itu dalam masyarakat.
Untuk itu, stockholder yang ada dalam pemilihan umum yaitu KPU dan pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat menggunakan kajian sosiologi hukum untuk dapat melihat kesiapan masyarakat dalam menghadapi pemilihan umum itu sendiri. Dengan itu, masyarakat yang mempunyai peran yang sangat besar dalam keberhasilan tujuan pemilihan umum harus menjadi perhatian yang lebih untuk disiapkan. KPU dan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus melakukan sosialisasi yang efektif untuk pelaksanaan teknis pemilhan umum dan melakukan pendidikan politik yang baik agar masyarakat sebagi pemilih dapat meimilih secara cerdas. Sehingga, semboyan KPU dalam pemilihan umum ini yaitu ”pemilih cerdas untuk memilih pemimpin berkulaitas” dapat terlaksana dengan baik demi Indonesia yang lebih baik pula.

Tuesday, 7 July 2009

pemilu semanis permen

Pemilu Semanis Permen;

“Sebuah Hadiah Terindah Untuk Indonesia Kita Tercinta”

Oleh: Nunik Nurhayati/ FH UNS/ 2005

Wakil rakyat…, seharusnya merakyat.

Jangan tidur waktu sidang soal rakyat…”

(lirik oleh Iwan Fals)

Masih ingat dalam bayangan kita bagaimana lagu tersebut dinyanyikan dengan nada-nada yang sederhana sehingga lirik-lirik yang berupa kritikan pedas untuk pemerintah menjadi lagu yang enak untuk didengar. Padahal lagu yang mulai populer pada era 90-an tersebut, sempat mendapat penjegalan sepihak oleh pemerintah yang saat itu sedang berkuasa. Sepintas, lirik lagu diatas menyiratkan akan sebuah harapan besar rakyat Indonesia kepada wakil-wakilnya yang menduduki bangku legislatif di struktur pemerintahan Republik Indonesia untuk bisa menyalurkan aspirasi masyarakat. Harapan besar yang berarti bahwa wakil-wakil rakyat masih dibutuhkan keberadaannya untuk bisa melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai amanat perundang-undangan yang berlaku.

Sekarang sudah era tahun 2000-an dan entah kenapa lagu tersebut masih enak untuk didengar sampai saat ini. Apakah karena memang alunan nadanya yang mengalirkan harmoni-harmoni yang nyaman untuk didengar oleh telinga atau karena maksud dari lirik-lirik lagu tersebut masih relevan sampai saat ini?

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pembukaannya, mengamanatkan bahwa salah satu tugas pemerintah adalah memajukan kesejahteraan umum. Amanat yang mempunyai arti lebih dari sekedar tugas biasa dimana sebuah amanat adalah kewajiban hakiki yang harus dijalani dengan sungguh-sungguh. Tapi kenyataannya, banyak fakta-fakta yang memperlihatkan bahwa kinerja pemerintahan Indonesia -terutama dalam bidang legislatif- banyak mengecewakan masyarakat. Banyak tertangkapnya anggota dewan yang terjebak dalam kasus korupsi, rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah yang terbengkalai, aliran dana APBN atau APBD yang tidak transparan, dan masih banyak kasus lain yang apabila dipaparkan dan sampai terdengar ke negara lain, hanya akan membuat malu bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat. Itulah alasan mendasar yang melatarbelakangi kenapa akhirnya kritikan untuk pemerintah dengan ragam cara masih sering dijumpai hingga saat ini. Mugkin, ini juga yang menjadi jawaban kenapa lagu Iwan Fals masih enak untuk didengar hingga saat ini.

Dalam sejarah Indonesia, setiap lima tahun sekali diadakan Pemilihan Umum yang bertujuan untuk memilih wakil rakyat. Dan mulai tahun 2004, pemilihan umum juga bertujuan untuk memilih Presiden dan wakilnya secara langsung. Lima tahun setelah tahun 2004 adalah tahun 2009. Itu artinya, pada tahun 2009 ini bangsa Indonesia akan mengadakan sebuah pesta demokrasi besar dimana akan terjadi transisi kekuasaan dari pemerintahan yang lama ke pemerintahan yang baru. Seperti yang sudah terlewat, pesta demokrasi besar itu akhirnya juga akan berlalu begitu saja dan tidak mempunyai efek perubahan yang lebih baik kedepannya dimana keadaan masih sama seperti yang sebelumnya. Parameter ringannya adalah lagu Iwan Fals tersebut mungkin masih relevan untuk kedepannya.

Lantas, apakah makna pemilu untuk bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Jangan-jangan pemilu hanya sebagai sebuah agenda rutinan setiap lima tahun sekali dengan anggaran yang sangat besar, peserta partai politik yang semakin beragam, metode pencoblosan yang berbeda-beda, tanpa adanya perubahan yang lebih baik untuk Indonesia kedepannya. Kalau seperti itu, wajar saja jika akhirnya masyarakat yang tidak memilih -atau sering disebut golput- meraih suara terbanyak dalam pemilihan umum kali ini. Hal itu dikarenakan animo mereka yang sudah begitu kecewa setelah selama ini yang terjadi.

Tapi sayangnya, Indonesia adalah negara yang terkenal dengan budi luhurnya dan semangat optimisnya. Hal ini terbukti dari berhasilnya Indonesia merebut kemerdekaannya pada tahun 1945 walau hanya dengan beramunisikan bambu-bambu runcing dibandingkan dengan amunisi penjajah yang saat itu sudah menggunakan alat canggih. Itulah semangat optimis yang bisa kita ambil pelajarannya dari pejuang-pejuang dahulu yang dengan taruhan nyawa dan simbahan darah nya, mereka hanya ingin Indonesia merdeka dan keadaan akan lebih baik.

Semangat optimis itulah yang harus kita internalisasi dalam diri masyarakat Indonesia dalam menyongsong pesta demokrasi besar tahun ini yaitu pemilihan umum 2009. Aplikasi dari semangat optimis inilah yang akhirnya akan mengurangi angka golput dan rasa-rasa pesimis sebagian masyarakat yang bisa dibilang tidak lagi peduli pada masa depan bangsa Indonesia. Harapannya, pemilihan umum 2009 akan dijalani dengan semangat optimis dan penuh keyakinan akan membawa kemenangan untuk Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik.

Pemilu semanis permen, adalah sebuah hadiah terindah untuk Indonesia kita tercinta. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pemilihan umum itu bisa begitu manis semanis permen dan banyak disukai berbagai kalangan. Jawabannya mudah saja, dengan semangat optimis yang dimiliki rakyat Indonesia untuk meyongsong Indonesia ke perubahan yang lebih baik akan memberikan derivasi atau turunan sehingga pemilu akan berjalan dengan baik dan hasil yang didapatkan dari pemilu adalah hasil yang baik pula.

Dalam rangkaian pemilihan umum ini, stock holder yang ada (Pemerintah, KPU (Komisi Pemilihan Umum), Partai politik, Calon Presiden, sampai masyarakat) harus mempunyai komitmen dan itikad yang baik yang didasari pada semangat optimis dalam menjalankan pemilu ini. Sehingga akan mendorong terciptanya Pemilihan Umum yang berkualitas dengan kedewasaan dan kecerdasan memilih masyarakat karena pendidikan politik yang bersih tanpa adanya money politik, pemaksaan, black campaign, dan hal-hal lain yang akan mengganggu jalannya pemilihan umum.

Dengan proses pemilihan umum yang baik dan berkualitas seperti yang dipaparkan diatas, maka hasil yang akan didapat dari pemilihan umum tersebut nantinya akan secara otomatis menyaring wakil-wakil rakyat yang baik dan berkualitas pula. Sehingga nantinya akan mendorong terciptanya legislative dan eksekutive yang bersih, bermoral, jujur, profesional, kritis, progresif, dan pro rakyat.

Dari rangkaian tersebut, nantinya pemerintah -baik dalam bidang legislatif maupun eksekutif- akan menjalankan tugasnya secara baik sesuai amanat perundang-undangan yang berlaku. Dan bukan hal yang mustahil, dengan pemerintahan yang baik dan masyarakat yang madani, nantinya Indonesia akan menjadi bangsa terdepan yang akan membawa perbaikan untuk Indonesia dan untuk dunia. Sehingga, Iwan Fals dan musisi yang lain tidak akan lagi membuat lagu kritikan untuk pemerintah, melainkan akan membuat syair-syair pujian atas rasa syukurnya pada kinerja pemerintah yang berhasil membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Semoga.

~The end~

01 Maret 2009,

@ in front of the rice field,

Indonesia, gemah ripah loh jinawi..