Showing posts with label kuliah. Show all posts
Showing posts with label kuliah. Show all posts

Sunday, 11 May 2014

sidang tesis

alhamdullilah... setelah banyak hal yang terlewati, dan telat 10 bulan dari deadline 2 tahun.. akhirnya, bisa sidang ujian Tesis. Entahlah, mungkin memang omongan itu doa ya, jadi waktu itu uda niat banghet kalo Tesis akan dikerjain pas lagi hamil. Harapannya biar sekalian belajar sama bayinya. Tapi waktu itu kan niatnya dari semester 1 dengan harapan semester 2 nikah, semester 3 hamil, semester 4 sidang tesis dan wisuda. Tapi ternyata, nikahnya pas semester V. hehe.. Alhamdullilah 1 bulan nikah langsung hamil, jadi mau ga mau finishing tesis biar kalo sudah lahiran ga terbayang2 konsultasi pembimbing dan ngeprint bolak-balik :D.
Setelah nikah 1 bulan rajin banget ngerjain tesis, dan setelah tersusun ternyata baru tau kalo hamil hehe.. pas tau hamil malah hibernasi karena mual dan muntah yang agak ekstrim, jadi 4 bulan ga dikerjain lagi. Tapi habis itu, langsung ngebut dan di acc ujian pas 6 bulan kehamilan :) Alhamdullilah dapet jadwal 6 mei 2014, padahal, hari terakhir pendaftran wisuda bulan juni adalah 9 mei. Jadi habis ujian langsung ngerjain revisi 2 hari selesai. soalnya kalau setelah tanggal 9 mei belum selesai urusan revisi, berarti bisanya daftar wisuda untuk bulan sepetember dan (insyaallah) itu baru sekitar 2 minggu melahirkan.. kesian bayi 2 minggu ikut wisuda seharian atau ditinggal dirumah seharian.
Akhirnya, Pas tanggal 9 mei kemarin, dengan semangat '45 ke pembimbing dan penguji ngajuin revisian tesis. Tapi dapat kabar kalau ketua penguji sekaligus ketua Prodi tidak ke kampus hari itu karena tidak ada jadwal ke kampus dan kemungkinan baru ke kampus senin. Itu artinya revisi tidak akan di acc hr itu, yudisium tidak akan keluar, dan artinya ga bisa daftar wisuda bulan juni. Saya pun sms suami dan saudara2 saya kalau kemungkinan saya tidak bisa wisuda juni.

Pasrah, ikhlas..

Yaudahlah, kalau memang tidak bisa, yang penting sudah berusaha. yang di revisi banyak banget soalnya, sampe dibantuin suami nyusun daftar pustaka dll dari BAB I-V. Gak mungkin selesai 1 hari. Allakulihal, setelah bolak-balik naik turun tangga di gedung yang berbeda-beda, pada titik pasrah, tetep aja nunggu penguji yang lain utk mengajukan revisi yang kebetulan ruangannya di ruangan sebelah ketua penguji. dan tiba-tiba Bapak ketua penguji yang kata sekretarisnya tidak datang, ternyata datang. Langsung saya keruangannya, dan alhamdullilah, langsung di acc revisinya, di ttd pula tesis nya, bisa urus yudisium, dan bisa daftar wisuda bulan juni di hari terakhir pendaftaran..

Kalau nanti anak saya sudah lahir,dan sudah bisa membaca postingan ini, 
"ummi cuma ingin mengucapkan terima kasih..karena dorongan mu Nak, ummi jadi semangat menyelesaikan amanah studi ini..terima kasih juga kamu selalu kuat dan sehat kalau ummi ajak lembur, atau bolak-balik seharian naik motor panas-panasan karena Abi kerja dan tidak bisa antar, naik turun tangga, menunggu berjam-jam sampai telat makan.. maaf ya Nak, tapi semoga ini menjadi pembelajaran berharga untuk mu kelak..  untuk struggle, fighting, sabar, dan totalitas dalam mencari ilmu karena keimananmu pada Allah Ta'alla.. Ummi doain semoga kamu sehat terus, sempurna tumbuh kembangmu, tanggal 7 juni ini insyaallah kita wisuda ya Nak :) Nanti Insyaallah bulan Agustus, setelah Idul Fitri kamu lahir, kita bisa bertemu langsung, nanti ketemu abi juga.. ada mbah putri, mbah kakung, dan saudara-saudara yang lain... kita akan terus belajar bersama sampai akhir hayat, belajar memaknai kehidupan di dunia, mempersiapkan kehidupan yang lebih baik di akhirat,  sama abi, sama adik-adikmu kelak, insyaallah.."

ini Nak, foto kita bertiga sama Abi setelah Ummi selesai sidang tesis, kamu masih usia 6 bulan di perut Ummi

ini tim hore hore, hehe.. mba hani dan mba kipti yang dateng bawa makanan banyak banget Nak..

Wednesday, 27 March 2013

mari selesaikan.

Salah satu kebiasaan orang yang tidak berkembang bahkan kualitas hidupnya cenderung menurun adalah menunda. Mengapa? Karena, menunda akan meningkatkan stres dan membuat stres bertahan lama dalam kehidupan seseorang. Menunda juga membuat Anda sering menengok ke belakang dan memikirkan pekerjaan-pekerjaan masa lalu yang seharusnya sudah tuntas. (Jamil Azzaini, 2013)


Well, banyak temen2 yang mengeluarkan sebuah teori atau mungkin pendapat bahwa ide akan mengalir lancar saat kepepet. Istilah ilmiahnya SKS (Sistem Kebut Semalam). Belum nemuin penelitian yang menyatakan itu sih, tapi kalo mau survey di kos2 sekitar kampus maka hampir sebagian besar samplenya sedang mengaplikasikan 'teori' tersebut terutama pada saat menjelang UAS atau UTS. Tapi mungkin itu untuk belajar semalaman karena besok nya ujian, atau belajar ba'da subuh karena paginya ujian :D atau ngerjain tugas makalah semaleman karena baru inget kalo besoknya dikumpulin dan presentasi (pengalaman_red).

Dan percayalah, teori itu tidak berlaku untuk mengerjakan tugas akhir, sebut saja skripsi dan lebih tepatnya tesis. di capslok biar jelas, TESIS. Suatu hari, saat di perpustakaan saya sibuk membaca mengamati aktivitas2 yang dilakukan para mahasiswa. (mungkin ini penyebabnya pas pulang dari perpus bukan dapet pencerahan dari buku yang dibaca atau lembaran2 ketikan tapi dapet pemikiran, lebih tepatnya pikiran. hahaha :D )

Dan inilah hasil pikiran tsb yang menjadi salah satu penyebab saya ke dokter kemarin. hehehe *nyengir aja biar sembuh :)

Jadi, untuk menyelesaikan tugas akhir dengan baik kita cuma harus mempersiapkan 3 hal (cuma 3): 
1. Siapin Substansi
2. Siapin Teknis
3. Siapin Mental

Dan ga jadi 3 kalo dikembangbiakkan diperjelas maksudnya:

1. Persiapan Substansi
  • pastikan tema, judul, dan rumusan permasalahan sesuai dengan latar belakang yang ada. kalo di fakultas hukum, biasanya permasalahan itu didapat karena di latar belakangnya ada selisih antara das sollen (yang seharusnya terjadi) dan das sein (yang sebenarnya terjadi). Biasanya ada fakta-fakta dilapangan yang mendukung das sein.
  • Kalo perlu pra penelitian dulu (walaupun belum dapet judul,  belum dapet pembimbing, apalagi belum disuruh pembimbing, kan judulnya aja belum diajuin :D). nah di pra penelitian itu untuk memastikan kalo yang akan kita teliti ada data mendukung yang cukup mudah kita dapatkan. jadi proposal itu tidak sekedar angan tapi sudah menjadi kemantapan untuk melangkah.
  • Lebih bagus lagi mulai nyicil beli buku yang terkait dengan judul yang akan diteliti., dan lebih baik lagi kalo buku2 itu dibaca.
  • cari penelitian yang agak-agak sama pembahasannya kalo perlu sampai ke univ2 lain, termasuk jurnal, syukur bisa kenal juga sama penelitinya..
2.  Persiapan Teknis
  • Pastikan kita tau alamat rumah pembimbing, jadwal mengajar, ruangan atau tempat transit yang sering dikunjungi,  mobil atau motor pembimbing dan tempat biasa parkirnya, kebiasaan khususnya, dll all about pembimbing, termasuk kenal satpam yang sering memantau datang/pulangnya dosen. Ini sangat penting karena betapa penting nya mendapat jam konsultasi dan yang lebih penting adalah mendapat acc berupa ttd para pembimbing :) Jangan lupa catet nomor hp.pembimbing dan minta izin untuk men-sms atau menelepon jika ada keperluan misal janjian konsultasi.
  • cari cerita-cerita dari para senior yang dibimbing juga sama pembimbing yang sama, jadi lebih prefer untuk konsultasi dan yang pasti lebih prefer pas ujian akhir. dan lebih oke lagi kalo nemu temen yang bimbingannya sama..biar bisa janjian dalam satu waktu dan ada temen nungguin sampai dpersilahkan pembimbing masuk ruangan :) 
  • Jangan lupa kelengkapan administrasi seperti surat-surat penelitian, berkas2 yang harus dikumpulin kalo mau daftar ujian pendadaran, dll.
  • laptop, modem kalo bisa fit dan on. kalo perlu non aktifkan semua sosmed (kadang perlu..) soalnya kalo online nnt malah ga jadi browsing materi malah buka2 fesbuk, twitteran dan teman2nya. Blog termasuk ga yaaa?? hehehe
  • Motor (atau kendaraan apapun) kalo bisa juga ready to use, jangan sampe pas uda dapet jadwal konsultasi atau wawancara setelah sekian lama waiting list ga jadi berangkat gara2 mogok misalnya :'(
  • Buat  schedule penelitian. well, ini semua pasti sudah ada di proposal penelitian, tapi detailkanlah, termasuk perkiraan lama waktu nunggu pas dikoreksi, perkiraan lama waktu bermalas-malasan, perkiraan jadwal akademik seperti bulan liburan semester, dan pastinya match kan semua aktivitas, kerjaan, dll dengan waktu mnegrjakan tesis.
  • ohya, jaga kesehatan, jangan sering jajan, makan mie instant, nyemil chiki, sekali kali refreshing dan manage pekerjaan dan pikiran agar sehat dan fresh saat menegrjakan tesis ditempat (ngetik) ataupun saat penelitian lapangan..
 3. Persiapan Mental
  • Jangan sungkan dan 'ngeri' duluan kalo mau ketemu sama pembimbing. Pastikan kita menghubungi dan datang dengan sikap sesopan-sopannya karena rasa hormat pada sang-Guru. terutama bahasa SMS yang digunakan.
  • never give up, karena akan banyak cobaan dan godaan yang menghalangi pengerjaan tugas akhir. setiap hari harus ada progressnya, minimal bawa buku wajib baca atau laptop kemanapun anda pergi. pulpen dan kertas cukuplah karena ide bisa muncul sewaktu-waktu.
  • Banyak-banyak berdoa, bayangkan wajah pembimbing, penguji, dan tesis yang sudah jadi dalam setiap do'a setelah sholat. jangan lupa sholawat.. semoga Allah membaikkan hati para pembimbing dan stakeholder yang lain untuk memudahkan waktunya bertemu konsultasi, mempercepat waktu koreksian, dan mentransfer ilmunya. jangan lupa doa juga semoga yang lagi ngerjain tesisnya dimudahkan langkahnya, di lancarkan jalan pikirannya, dan diluaskan hatiya sehingga tiada hari tanpa progress tugas akhirnya samapi selesai dengan baik dan diwisuda tepat pada waktunya.
  • Minta doa orang tua, kondisikan rumah atau teman kos kalau beberapa bulan kedepan butuh agak sedikit teanng demi selesainya tesis tercinta :D. Ada baiknya juga saling mensuport antar teman 1 kelas yang mengerjakan tugas akhir juga..biar tau kalo ada yang lagi sama2 berjuang, dan biar inget kalo masih mahasiswa yang masih harus menyelesaikan tesisnya.
SEKIAN.
Selanjutnya,melanjutkan apa yang harus dilanjutkan. 
Ngetik tesis.

note:ini khusus pembimbing yang masih aktif bekerja di kampus, tidak sedang tugas belajar baik di dalam apalagi di laur negeri yang sudah dipastikan ga pernah ke kampus :D dan sesungguhnya note ini untuk yang menulis agar teringat selalu sampai deadline itu terlaksana dengan baik, tepat pada waktunya.

Salam hangat terdahsyat.^^ v

Tuesday, 26 February 2013

politik romantis

Pernah suatu hari saat kuliah sosiologi hukum, dosen saya menyampaikan bahwa peraturan perundang-undangan merupakan sesuatu yang sakral/maha, maka sesuai dengan apa yang dikatakan JJ Rosseau bahwa badan legislatif (the legislator) adalah mereka yang “maha tahu” membuat dasar aturan/ hukum. Lantas, saya pun bertanya, "Kemudian apa parameter seorang bisa atau berhak menjadi pembuat undang-undang/aturan hukum?". (sebagaimana yang kita tahu, di Indonesia yang membuat UU kan anggota DPR dan presiden ~ pasal 5 dan 20 UUD 1945. Anggota DPR berasal dari partai politik yang cara perekrutannya berbeda-beda tiap partainya dan dipilihnya pun langsung oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Belum lagi saat proses penyusunan UU banyak sekali tahapan yang harus dilewati dan kita sebagai masyarakat tidak bisa melihat langsung proses-proses tersebut). Tak lama, dosen saya pun menjawab.. "Politik itu menjadi sesuatu yang rumit untuk dibicarakan secara sederhana..". well.. Spechless~ Namun hanya sampai saat saat itu. Karena, dorongan otak untuk terus berfikir tak selesai sampai saat itu, sampai akhirnya kemarin saya menemukan 1 artikel dan 1 kultwit yang saling berkaitan dan menurut saya menarik.

Nah ini dia artikelnya, judulnya : Bandung Love Story; Habibi-Ainun dan Heryawan-Netty

Hasri Ainun Besari terlahir dan dididik di lingkungan keluarga yang mencintai pendidikan. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di Bandung, kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Rudy Habibie, kakak kelas Ainun saat di SLTA, begitu berkesempatan pulang ke Bandung di tengah masa studinya di Jerman, terpesona Si Gula Jawa yang tumbuh menjadi Gula Pasir yang putih manis. Iklim sejuk di Bandung rupanya menumbuhsuburkan bibit cinta di antara mereka. Habibie pun mempersunting Ainun pada tanggal 12 Mei 1962.

Ainun merupakan pendamping Habibie dalam segala hal. Ia menjadi dokter pribadi yang menyiapkan menu makanan dan mengingatkan Habibie untuk beristirahat dan minum obat. Ia manajer yang mengingatkan jadwal harian Habibie. Ia menjadi penasihat yang menenangkan Habibie dalam kondisi gawat sekalipun saat Habibie menjadi Presiden RI ketiga. Ia juga menjadi Ibu Negara yang memiliki kepedulian besar dalam kegiatan sosial. Ia terlibat aktif dalam yayasan-yayasan kepedulian pada tunanetra, seperti Bank Mata, Perkumpulan Penyantun Mata Tunanetra Indonesia (PPMTI). Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Ainun mendirikan Yayasan Beasiswa Orbit (Yayasan amal abadi-orang tua bimbingan terpadu) dengan cabang di seluruh Indonesia. Ia juga yang memprakarsai penerbitan majalah teknologi anak-anak “Orbit”. Atas dedikasinya kepada bangsa Indonesia, Ainun mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra Adipurna, Bintang Mahaputera Utama, serta Bintang Mahaputra Adipradana dari Pemerintah.

Secara pribadi, Ainun merupakan sosok yang religius. Bersama Sang Suami, semasa hidupnya ia rutin melaksanakan puasa sunnah Senin Kamis. Ia melewatkan malam-malamnya dengan shalat malam dan membaca Al-Quran. Menurut suatu sumber, ia bahkan menamatkan membaca Al-Quran dua kali dalam satu bulan. Melihat pribadi Ainun yang begitu menawan, tak heran cinta Habibie kepada Ainun menjadi kisah yang indah untuk dikenang.

Iklim sejuk di Bandung ternyata tidak hanya menumbuhkan kisah cinta Habibie-Ainun. Sang Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, juga memiliki kisah yang tidak kalah manis. Ahmad Heryawan dan Netty Prasetyani saling mengenal sejak masih sama-sama kuliah. Netty semester 7, Heryawan semester akhir. Keduanya sama-sama aktivis dalam kegiatan rohani Islam di kampus. Kesamaan visi dan kecocokan profil yang diinginkan oleh masing-masing membuat Heryawan akhirnya memilih Netty. Berbeda halnya dengan anak muda zaman sekarang yang melakukan penjajakan lewat pacaran, Heryawan-Netty saling mengenal lewat perantara mak comblang. Setelah saling mengenal sejak November 1990, pada tanggal 13 Januari 1991 keduanya akhirnya menikah.

Setelah Ahmad Heryawan menjadi orang nomor satu di Jawa Barat dengan segudang prestasi, Netty tidak lantas menjadi ibu-ibu sosialita yang gemar belanja dan foya-foya. Netty menyokong keberhasilan pembangunan di Jawa Barat secara aktif sebagai pelopor pemberdayaan perempuan dan anak. Dengan jumlah penduduk perempuan Jawa Barat yang mencapai setengahnya dari laki-laki (BPS, 2010), peran perempuan ternyata dapat mencakup lebih dari separuh ruang lingkup urusan di dunia, baik dia sebagai anak, saudara perempuan, istri, maupun sebagai ibu. Maka tidak berlebihan sekiranya dikatakan bahwa apabila perempuan berdaya, masyarakat akan sejahtera.

Atas dedikasinya terhadap kemajuan Jawa Barat, Netty yang juga merupakan Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Provinsi Jawa Barat ini dinobatkan sebagai “Ibu Jawa Barat” oleh Aliansi Dewi Sartika Provinsi Jabar. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di bawah kepemimpinannya berupaya mencegah dan menghapus tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Sejak didirikan pada bulan Maret 2010, P2TP2A telah menangani 215 kasus, terdiri dari 159 kasus human trafficking, 33 kasus kekerasan dalam rumah tangga, 9 kasus pelecehan seksual, dan sisanya kasus penculikan anak dan perempuan terlantar.

Di tengah aktivitasnya yang begitu padat, Netty tidak melupakan perannya sebagai seorang ibu dan istri. Berikut ini kultwit-nya mengenai pengalamannya membangun keluarga yang sekarang sudah memasuki usia 22 tahun:

Pernikahan yang kami bangun berdiri di atas visi bahwa pernikahan yang dilakukan berdimensi dunia dan akhirat. Artinya, pasangan (suami/istri) di dunia harus menjadi pasangan (suami/istri) di akhirat/kehidupan setelah kematian kelak. Dengan prinsip itu, kami berpikir bahwa tidak boleh ada masalah besar apalagi masalah kecil yang mampu memporakporandakan keluarga kami. Apakah tidak pernah ada masalah? Pasti ada, hanya kita punya kesepakatan bahwa satu sama lain harus berusaha menyelesaikan masalah. Caranya, apapun masalahnya serta siapapun yang memulai, masing-masing harus proaktif mengakhiri dengan cara saling berlomba menyapa lebih dulu. Jadi, tidak ada yang pernah kuat berlama-lama mendiamkan/bermusuhan apalagi dituntaskan sampai 3 hari sebagaimana yang dibolehkan.

Suami saya berprinsip bahwa menikah bukan untuk membuat istri sengsara, sedih, tertekan, dan sebagainya. Justru berniat ingin membahagiakan. Akhirnya, pola relasi yang dibangun adalah kemitraan atau ta’awun (prinsip saling tolong-menolong) sebagaimana yang disebut di dalam Al-Quran. Oleh karena itu, kelancaran komunikasi selalu dibangun. Tidak boleh ada hambatan berkomunikasi antara suami-istri. Ehem, makanya tidak pernah berlalu satu haripun, kecuali ungkapan “I love you” dari mulut masing-masing baik dari saya maupun suami.

Ada fleksibilitas dalam membagi peran di rumah. Tatkala tidak ada yang membantu saya mengerjakan pekerjaan RT, suami turun tangan. Setiap pulang beraktivitas/mengajar malam hari, suami mencucikan pakaian kami sekeluarga. Esok hari, saya tinggal menjemurnya. Ketika saya sakit atau sibuk menyiapkan keperluan anak-anak bersekolah, suami langsung mengantri bersama ibu-ibu di tukang sayur untuk berbelanja. Suami juga terbiasa memandikan dan menyuapi anak-anak di pagi hari. Anak-anak suka disuapi bapaknya karena potongan lauknya besar.

Setiap kali saya melahirkan, suami saya dengan setia mendampingi di sisi, baik mengusap saat kontraksi atau membesarkan hati. Suami berpendapat bahwa mendampingi istri saat mlahirkan akan menambah rasa cinta dan hormat kepada istri dan kaum perempuan lainnya. Termasuk dalam mengasuh dan membesarkan anak, saya dan suami biasa berbagi tugas. Jika saya sibuk, suami yang kontak dan memantau anak-anak.

Sebagai bapak, suami punya prinsip yang sangat melegakan bahwa anak terus tumbuh dan berkembang. Jangan pernah underestimate terhadap anak. Anak-anak tak pernah dibebani dengan prestasi akademis lewat urutan ranking. Jika ambil rapor yang ditanya bagaimana akhlak anak di sekolah. Prinsip kami dalam membesarkan dan mendidik anak dengan 3 pendekatan: otoritatif, demokratis, dan edukatif. Otoritatif: sesekali kami gunakan otoritas sebagai orang tua tapi tidak semua urusan harus diselesaikan dengan gaya atasan-bawahan. Demokratis: sesekali kami berikan kebebasan kepada anak untuk menentukan pilihan-pilihannya secara sadar dan bertanggungjawab. Tapi perlu juga pendekatan edukatif; kami harus memberikan penjelasan, pengertian, dan alasan mengapa ini boleh, itu tdk boleh, dan lain-lain. Jadi, tradisi berdiskusi, berdialog, sudah terbangun diantara anggota keluarga, suami, istri, orang tua dan anak sejak dini. Sebagai contoh, si sulung memutuskan masuk IPS (waktu SMA), bapaknya tidak setuju, ia menjelaskan dengan detil alasannya, akhirnya kami menerima.

Dengan nilai-nilai (agama) yang ditanamkan, anak-anak pun tumbuh menjadi anak-anak yang sederhana, mandiri, dan terlibat dalam kegiatan orang tuanya. Saya dan suami belajar dari karakter anak-anak yang satu sama lain berbeda, yang laki dan perempuan, yang sulung, tengah, dan bungsu. Anak-anak tidak pernah memaksa untuk dibelikan sesuatu karena tuntutan status atau lingkungan pergaulan. Mereka menerima uang saku sesuai kesepakatan. Jika diberikan lebih, mereka menolak. Setiap kali diberi tambahan oleh si bapak, anak-anak bertanya apakah asal uang tersebut halal?

Suami sangat mendukung aktualisasi diri untuk saya, istrinya sehingga sampai hari ini saya didorong untuk menyelesaikan studi S3. Saya dan suami saling belajar, suami tak sungkan bertanya dan meminta pendapat karena yang terpenting satu sama lain saling menghormati. Begitulah selama ini perjalanan keluarga kami, tak ada yang istimewa namun semua kami jalani dengan satu harapan terindah. Yaitu, berkumpulnya kembali saya, suami, dan anak-anak sebagai satu keluarga utuh di akhirat kelak. Masih banyak sebenarnya sisi-sisi lain dari bangunan keluarga kami, insya Allah akan saya sambung dengan topik yang berbeda. Sebagai introduksi saja, si sulung sekarang menimba ilmu di Fisip UI jurusan Ilmu Politik, yang kedua di ITB Jurusan SBM, adiknya di SMA 3. Yang lainnya, di SMP dan SD Mutiara Bunda. Hatur nuhun sudah menyimak. Mohon nasihat dan masukan untuk keharmonisan yang lebih indah. Masih banyak pasangan/ortu yang senior/sepuh, harmonis, dan berhasil mendidik anak, kami masih harus terus belajar. Terima kasih.

Melihat kehidupan keluarga Sang Gubernur yang harmonis, tentunya masyarakat Jawa Barat harus merasa iri. Harapannya keharmonisan tersebut tidak hanya dirasakan oleh Pak Aher, Ibu Netty, dan keenam putra-putrinya saja, tetapi menular dan menyebar secara luas kepada masyarakat Jawa Barat. Semoga saja pemimpin Jawa Barat ke depan merupakan pemimpin yang dapat mewujudkan kehidupan masyarakat yang silih asih, silih asah, dan silih asuh, seperti Ahmad Heryawan! (Aisyah Pertiwi - Kompasiana)


Dan ini kultwitnya dari Hermawan Sudibya, melalui akun twitternya @hsdby.
  1. Jarang ditemui seorang pemimpin atau politisi yg menampilkan kehidupan rumah tangganya ke depan rakyat yg memilihnya. #PolitikRomantis
  2. Mudah utk mengira-ngira hal ini; politik itu kotor, sementara institusi keluarga adalah hal yg mulia, sebuah ikatan suci. #PolitikRomantis
  3. Membawa keluarga dlm dunia politik menjadi sebuah hal yg dapat merusak institusi keluarga jika syarat tak terpenuhi. #PolitikRomantis
  4. Syarat yg pertama adalah, keluarga bersedia utk ikut ke dalam politik dgn segala konsekwensinya. #PolitikRomantis
  5. Syarat yg kedua, pemimpin/politisi harus menjamin dirinya bersih dan seterusnya akan bersih. #PolitikRomantis
  6. Jk syarat pertama tak terpenuhi, konflik internal keluarga akan pecah. Seorang pemimpin msti lahir dr keluarga yg harmonis. #PolitikRomantis
  7. Kalau mengurus keluarga sendiri tidak bisa, bagaimana mengurus rakyat? Waktu habis utk urus keluarga. #PolitikRomantis
  8. Jk syarat kedua tak terpenuhi, itu sama saja dengan membawa anak-istri masuk ke dalam jurang kehinaan. #PolitikRomantis
  9. Jika syarat terpenuhi, lalu membawa institusi keluarga ke dalam politik, apa yg akan terjadi? #PolitikRomantis
  10. Sy mmbayangkn politik yg memanusiakan manusia, politik humanis,membawa cerita cinta dan kasih sayang keluarga ke dalamnya. #PolitikRomantis
  11. Politik yg citranya kotor, penuh makar konspirasi, persaingan, kinimmau diwarnai dgn sentuhan cinta dan kasih sayang. #PolitikRomantis
  12. Bisakah itu terjadi? #PolitikRomantis
  13. Bisa, dan itu ada! Lihatlah sosok @aheryawan dan @netty_heryawan. Beliau berdua suami-istri yg menampilkan #PolitikRomantis
  14. Sosok istri yg membantu kerja politik suaminya. @netty_heryawan mendobrak citra istri pejabat. #PolitikRomantis
  15. Apa yg dibayangkan dgn sosok istri pejabat? Sosok ratu yg enggan berpanas-2 dgn rakyat, glamour, mentereng, berdiam di istana megah.
  16. Dalam berbagai kesempatan kampanye kemarin, Bu @netty_heryawan ikut berbicara di depan lautan massa dan forum-2. #PolitikRomantis
  17. Banyak juga foto-2 @aheryawan dan @netty_heryawan yg memperlihatkan hal-2 yg romantis. #PolitikRomantis
  18. Contohnya foto ini, politik tak lagi membuat penat saat sy lihat foto ini. #PolitikRomantis http://t.co/AxUmxRoWk7"
  19. Lbh lengkapnya diungkap oleh video ini, romantism @aheryawan dan @netty_heryawan #PolitikRomantis http://t.co/D1xFnCMpgi
  20. Sy pikir, politik perlu memasukkan nilai-2 cinta dan kasih sayang keluarga. Kita terlalu penat dgn hiruk pikuk politik. #PolitikRomantis
  21. @aheryawan dan @netty_heryawan perlu diteladani oleh banyak pemimpin negeri ini. Mari hadirkan politik yg manusiawi. #PolitikRomantis
  22. Oh, perlu diketahui, sy pikir Bu Netty ini tak akan dicalonkn atau mencalonkan diri utk menduduki jabatan publik. #PolitikRomantis
  23. PKS melarang pasangan hidup pejabat publiknya utk ikut dicalonkan menjadi pejabat publik di tempat lain. #PolitikRomantis
  24. Sy pikir, PKS ini ingin agar institusi keluarga tetap utuh terjaga. Menjaga romantisme para kadernya. #PolitikRomantis
  25. Anis Matta (PKS) seolah ingin menunjukkan kepada rakyat Indonesia, mari kita bawa romantisme kita dlm politik. #PolitikRomantis
  26. Lihatlah pernyataan emosional dr Anis Matta dlm pidato politik pertamanya: "Kepada Lutfi Hasan Ishak, saya mencintainya." #PolitikRomantis
  27. Semoga dunia politik kita tak lagi membuat kepala kita penat dan membuat dada kita sesak. #PolitikRomantis
  28. Ah, lihatlah aksi Depok Freeze Mob. Kita membawa pesan: politik dapat membuat kita tertawa! :D #PolitikRomantis
  29. Sekali lagi, semoga pasangan @aheryawan dan @netty_heryawan dpt membawa sebuah tren dan warna baru politik tanah air. #PolitikRomantis
  30. End.

Well..
setelah baca artikel dan kultwit diatas yang sangat panjang ~ terima kasih telah membaca nya hehe :D ~, akhirnya sampai pada hipotesa pada, apakah mungkin parameter seorang pengelola negara yang baik salah satunya dapat dilihat apakah ia baik mengelola keluarga nya atau tidak?

Terima kasih kepada Partai Keadilan Sejahtera atas pembuktiannya yang cukup berhasil menyederhanakan politik yang terlalu rumit dan menyejukkan politik yang terlalu menjemukkan. Saya penasaran dgn partai-partai yang lain apakah memiliki cerita yang sama? Dan, mungkin ini bisa menjadi usulan penelitian yang menarik untuk ranah ilmu politik, psikologi, sosiologi, hukum dan ilmu-ilmu lain yang berkait ^,^


"Politik Romantis untuk Indonesia yang lebih Romantis dan harmonis"
~Salam Cinta



Nice shoot in the year.....

kang aher dan bu netty saat kampanye pilgub jabar 2013 @netty_heryawan

sumber:
1. http://www.nettyheryawan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=444%3Abandung-love-story-habibi-ainun-dan-heryawan-netty&catid=9%3Aketahanan-keluarga&Itemid=14&lang=id
2. twitter.com

Sunday, 14 August 2011

Alhamdullilah..

Alhamdullilah...
Semoga, nikmat rizqi yang Allah SWT berikan kepada kita adalah rizqi yang barokah yang akan menjadikan kita lebih tawadu', dan lebih dekat kepada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pemberi Rizqi..
Jangan sampai nikmat Rizqi ini membuat kita menjadi sombong, lalai, lebih mencintai dunia, jauh dari Allah dan lupa bersyukur..
Semoga keputusan yang sudah kita buat adalah yang terbaik untuk kita dan orang2 disekitar kita, karena kita harus yakin, di semua keputusan yang kita pilih pasti ada campur tangan Allah yang sangat teliti di setiap detailnya.
Semoga keputusan ini bisa memberikan kontribusi kebaikan untuk umat dan seisi dunia.
Semoga Allah meridhoi keputusan ini dan memudahkan jalan ke depannya.

(96) Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
(97) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. An-Nahl: 96-97)

Alhamdullilah ya Allah atas nikmat Rizqi yang Engkau berikan.
Alhamdullilah wa Syukurilah..

Wednesday, 8 July 2009

kesiapan pilpres

PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DITINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Sebagai Pengganti Kuis Pada Mata Kuliah
Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta


DISUSUN OLEH:
Nunik Nurhayati (E0005238)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan dalam dua kali pemilihan yaitu untuk memilih anggota legislatif pada tingkat DPR, DPRD, DPRD II, dan DPD dan pemilihan umum untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan umum anggota Legislatif sudah dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 dengan perolehan suara terbesar yang masuk dalam electoral threshold lebih dari 2,5% suara yang diperoleh yaitu Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Hati Nurani. Sedangkan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden akan dilasanakan pada tanggal 8 Juli 2009. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut mengatur pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden secara terperinci, termasuk di dalamnya adalah proses pencalonan sampai pada pelaksanaan teknis pemilihan umum.
Menurut Lawrence Friedmen dalam teorinya menyatakan bahwa sebuah peraturan atau kebijakan dapat dilihat dari 4 hal yaitu legal substantion, legal structure, legal function dan legal culture. Legal substantion dimaksudkan bahwa hukum atau peratuan yang diterapkan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 tidak bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi. Bahkan Undang-undang tersebut menerapkan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat yang dilaksanakan oleh Undang-undang dasar dan pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipiilih secara langsung oleh rakyat. Legal structure dimaksudkan bahwa peraturan atau kebijakan harus disertai dengan komponen pelaksana yang baik. Dalam hal ini, Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 mengatur tentang Komisi Pemilihan Umum yang berfungsi sebagai lembaga negara yang bertugas untuk melaksanakan teknis pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Legal Function dimaksudkan bahwa peraturan atau kebijakan harus memiliki tujuan dan fungsi yang jelas agar maksud dari hukum yang baik dapat terlaksana. Legal Culture dimaksudkan bahwa peraturan atau kebijakan harus bisa dipahami agar masyarakat dapat melaksanakan kebijakan atau peraturan tersebut.
Dari keempat hal berdasar teori Lawrence Friedmen diatas dapat dilihat bahwa keempat hal tersebut sudah memenuhi kriteria Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 sebagai peraturan atau kebijakan yang baik sehingga keberadaan formal yuridisnya sudah tepat. Yang akan menjadi pembahasan adalah legal culture yaitu kesiapan masyarakat dalam melaksanakan aturan yang ada dalam Undang-Undang tersebut. Dalam hal ini harus dikaji lagi secara lebih mendalam agar dapat dilihat apakah undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 yang mengatur tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden benar-benar dapat diterima oleh masyarakat sehingga masyarakat siap mengikuti pelaksanaan pemilihan umum tersebut.
Untuk itu, persiapan dan pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dapat ditinjau dari sosiologi hukum agar bisa dilihat bagaimana keadaan sosial masyarakat dalam hal ini kesiapan masyarakat dalam mengahdapi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden mendatang. Hal ini dikarenakan Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan Sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum,dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
1. Bagaimana kesiapan dari masyarakat Indonesia untuk mengikuti pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden ditinjau dari sosiologi hukum.


BAB II
PEMBAHASAN

Kesiapan Masyarakat Indonesia Untuk Mengikuti Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Ditinjau Dari Sosiologi Hukum.
Definisi sosiologi (1839) yang berasal dari kata latin socius yang berarti “kawan” dan kata Yunani Logos yang berarti “kata” atau “bicara”. Jadi sosiologi berarti “bicara mengenai masyarakat” bagi Auguste Comte sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada
perkembangan ilmu pengetahuan. Comte berkata bahwa sosiologi harus dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak kepada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat. Menurut Soerdjono Soekanto, Hukum adalah gejala sosial, ia baru berkembang di dalam kehidupan manusia bersama. Ia tampil dalam menserasikan pertemuan antar kebutuhan dan kepentingan warga masyarakat, baik yang sesuai atau tidak. Hal ini berlangsung karena manusia senantiasa hidup bersama, saling ketergantungan.
Sehingga, sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala social lain. Ini karena sejak dilahirkan di dunia ini manusia telah sadar bahwa dia merupakan bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia tadi memiliki kebuyaan. Selain itu, manusia sebetulnya telah mengetahui, bahwa kehidupan mereka dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan dan pedoman.
Sosiologi hukum juga dapat membantu untuk memberikan kejelasan mengenai
kemampuan yang ada pada undang-undang serta pengaruh-pengaruh apa saja yang
dapat ditimbulkan oleh bekerjanya undang-undang itu dalam masyarakat. Menurut Soejono Soekanto, sosilogi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya. Menurut R. Otje Salaman. Sosiologi hukum (ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis). Jelas terlihat berdasarkan definisi para ahli bahwa sosiologi hukum adalah segala aktifitas social manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi hukum.
Hukum secara sosiologis adalah merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola-pola perikelakuan yang berkisarpada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia Vinogradoff mengemukakan, bahwa norma hokum itu tumbuh dari pratek-pratek yang dijalankan oleh anggota masyarakat dalam hubungan satu sama lain yaitu pratek-pratek yang dituntut oleh pertimbangan memberi dan menerima dalam hubungan mereka satu sama lain yang diukur oleh pertimbangan kepatutan.
Dengan memerlukan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum, Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif, Hukum Sebagai Sosial Kontrol dan Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, yang merupakan sebagai tolak ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam masyarakat, apakah norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar bagaimana pernerapan sangsi, sebagai yang melakukan pelanggaran tersebut.
Dari penjelasan mengenai sosiologi hukum diatas, maka dapat dijadikan landasan teori bagaimana kesiapan masyarakat dalam menghadapi Pemilihan umum Presiden dan wakil presiden mendatang. Dalam UU nomor 42 Tahun 2008 dimana disana diatur tentang pelaksanaan teknis pemilihan umum presiden dan wakil presiden, dapat dilihat bahwa peran masyarakat sangat besar untuk dapat mensukseskan pesta demokrasi terbesar tahun ini. Untuk itu, dengan melihat perangkat yang dibutuhkan yaitu kesiapan masyarakat itu sendiri akan dapat menjadi acuan untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan pemilihan umum baik untuk KPU sebagai pelaksana teknis ataupun pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk memenangkan pemilihan umum tersebut.
Masyarakat Indonesia belum semuanya tergolong pemilih cerdas. Artinya, dari segi pemahaman makna pemilihan umum itu sendiri, tata cara pelaksanaan pemilihan umum, bahkan sampai pada pemahanan mngenai kualitas calon yang akan dipilih dalam pemilihan umum. Hal ini terbukti dengan hasil dari pemilihan umum legislatif yang lalu dimana calon anggota DPD no.31 di 12 propinsi di Indonesia lolos menjadi anggota DPD. Padahal, sosok dari calon DPD ini bisa dikatakan tidak familiar di masyarakat. Hal ini di karenakan, asumsi masyarakat yang saat ini dsedang terhevoria dengan nomor urut partai no.31 yang sedang menjadi partai besar tahun ini di Indonesia.
Hal ini harus menjadi perhatian lebih dari berbagai pihak terutama KPU sebagai pelaksana pemilihan umum. Karena bagaimanapun juga, keberhasilan pemilihan umum dari segi kualitas dan kuantitas pemilih adalah harapan dari seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Untuk itu, dari ilmu sosiologi hukum, dapat diambil uraian bahwa masyarakat Indonesia belum siap untuk melakukan pemilihan umum secara langsung. Tetapi, karena amanat UUD 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana agar masyarakat dapat siap menghadapi pemilihan umum tersebut. Maka,cara yang bisa dilakukan dengan waktu yang tidak banyak adalah kerja keras dari stockholder pemilihan umum untuk mencerdaskan masyarakat agar siap menghadapi pemilihan umum.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pelaksana teknis pemilu harus mensosialisasikan dengan efektif mengenai tata cara pemilihan umum. Hal ini harus dilakukan mengingat angka golput pemilihan legislatif yang lalu cukup banyak dikarenakan alasan rumit dalam pencontrengan. Dikhawatirkan, persepsi masyarakat akan sama dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden kali ini padahal pencontrengan lebih mudah karena hanya satu kali mencontreng. Walaupun nantinya, menurut UU nomor 42 Tahun 2008, apabila pasangan calon pada putaran I tidak memenuhi 50% lebih suara akan dilakukan lagi pemiliahn umum putaran II yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon dengan suara terbanyak. Itu artinya, masyarakat harus disiapkan untuk mengahadapi pemilihan umum presiden tahap II.
Selain KPU, yang menjadi stockholder dalam pemilihan umum adalah peserta dari pemilihan umum itu sendiri yaitu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Terkait dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi pemilihan umum, maka pasangan calon presiden dan wakil presiden harus melaksanakan kampanye dengan cara yang sehat. Hal ini akan berpengaruh terhadap kecerdasan masyarakat pemilih untuk memilih secara sadar dan terbuka calon yang akan mereka pilih. Tidak bisa dipungkiri bahwa black campaign dengan menggunakan money politik masih sering ditemui dalam pemilihan umum di Indonesia. Peserta pemilihan umum lebih mengandalkan memberikan uang kepada masyarakat dalam kampanye agar masyarakat memilih calon tersebut dibandingkan meyakinkan kepada masyarakat pemilih untuk membuka pemikiran mereka agar dapat memilih yang terbaik dengan keyakinan yang berdasar. Apabila hal ini terus dibiarkan maka pada pemilihan umum selanjutnya hal ini akan terulang dan pemilihan umum yang berkualitas tidak akan pernah tercapai. Untuk itu, diperlukan kedewesaan para calon untuk bertanding secara sehat agar masyarakat juga dapat mendapat pendidikan politik yang baik. Selain itu, dengan kedewasaan para calon, nantinya calon yang kalah akan menerima dengan legowo apapu hasilnya karena semua merasakan pemilhan umum ini dilaksanakna secara baik. Sehingga, tujuan demokrasi yang sebenarnya akan tercapai karena semua pihak menerima apapun hasil yang didapat.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut mengatur pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden secara terperinci, termasuk di dalamnya adalah proses pencalonan sampai pada pelaksanaan teknis pemilihan umum. Sosiologi hukum sebagai ilmu pengetahuan dapat membantu untuk memberikan kejelasan mengenai
kemampuan yang ada pada undang-undang serta pengaruh-pengaruh apa saja yang
dapat ditimbulkan oleh bekerjanya undang-undang itu dalam masyarakat.
Untuk itu, stockholder yang ada dalam pemilihan umum yaitu KPU dan pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat menggunakan kajian sosiologi hukum untuk dapat melihat kesiapan masyarakat dalam menghadapi pemilihan umum itu sendiri. Dengan itu, masyarakat yang mempunyai peran yang sangat besar dalam keberhasilan tujuan pemilihan umum harus menjadi perhatian yang lebih untuk disiapkan. KPU dan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus melakukan sosialisasi yang efektif untuk pelaksanaan teknis pemilhan umum dan melakukan pendidikan politik yang baik agar masyarakat sebagi pemilih dapat meimilih secara cerdas. Sehingga, semboyan KPU dalam pemilihan umum ini yaitu ”pemilih cerdas untuk memilih pemimpin berkulaitas” dapat terlaksana dengan baik demi Indonesia yang lebih baik pula.

Tuesday, 7 July 2009

HUKUM, MORAL, DAN AGAMA SEBAGAI LANDASAN PRAKTEK KODE ETIK PROFESI HAKIM INDONESIA

HUKUM, MORAL, DAN AGAMA SEBAGAI LANDASAN

PRAKTEK KODE ETIK PROFESI HAKIM INDONESIA




Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum, Moral, dan Agama

Disusun Oleh:

Nunik Nurhayati

E0005238

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.


Hakim sangat erat kaitannya dengan hukum atau negara hukum. Karena hukum akan ditegakkan dimana ada pengadilan yang merupakan tempat untuk mengadili dan tentunya dalam pengadilan ada hakim yang berperan sebagai pemutus sebuah keputusan yang adil. Untuk itu, perlu adanya kode etik profesi hakim yaitu aturan tertulis yang harus dipedomani oleh setiap Hakim Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi sebagai Hakim. Adapum maksud dan tujuan adanya kode etik profesi hakim ini adalah Sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter Hakim dan pengawasan tingkah laku Hakim. Selain itu juga sebagai sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial, dan pencegah timbulnya kesalah pahaman dan konflik antar sesama anggota dan antara anggota dengan masyarakat. Tujuan dari kode etik ini adalah memberikan jaminan peningkatan moralitas Hakim dan kemandirian fungsional bagi Hakim dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.

Dengan adanya kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya harapannya adalah untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Tetapi kenyataannya sekarang Hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik. Kalaupun ada biasanya akan ditangani oleh komisi yang dibentuk oleh Pengurus Pusat IKAHI dan Pengurus Daerah IKAHI untuk memantau, memeriksa, membina, dan merekomendasikan tingkah laku hakim yang melanggar atau diduga melanggar Kode Etik Profesi.

Kode etik profesi hakim sudah tentu berisikan aturan-aturan mengenai etika-etika hakim yang baik. Sehingga sumber dari kode etik ini tentunya adalah sumber yang baik dan dapat dipercaya. Nilai-nilai akhlaq yang diajarkan oleh agama yang melahirkan nilai moralitas yang baik adalah sumber dari kode etik ini.

Oleh karena itu, butuh adanya suatu landasan bagi hakim untuk menerapkan kode etik profesinya dalam praktek sehari-hari. Hal ini karena kode etik hanya merupakan sebatas aturan saja. Adanya Komisi Yudisial yang berada dalam struktur Lembaga yudikatif di Indonesia belum mencukupi dalam mengawasi hakim menjalankan tugasnya. Dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik profesinya tersebut.

Dari hal-hal yang sudah dipaparkan diatas, maka penulis mengambil tema untuk makalah ini yaitu hukum, moral, dan agama sebagai landasan praktek kode etik profesi hakim di Indonesia.

B. Rumusan Permasalahan

  1. Bagaimana aplikasi Kode Etik Profesi Hakim Indonesia dalam prakteknya?
  2. Bagaimana pentingnya penerapan hukum, moral, dan agama sebagai landasan praktek kode etik profesi hakim di Indonesia?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Aplikasi Kode Etik Profesi Hakim Indonesia dalam Praktek

Dasar kode etik profesi hakim diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang dimaksud dalam hal ini tertuang dalam pasal 1 yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Adapun pokok-pokok dari etika profesi Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:

a. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila yaitu bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial. (Terdapat dalam pasal 1)

b. Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. (Terdapat dalam Pasal 4 ayat (1))

c. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. (Terdapat dalam Pasal 4 ayat (2))

d. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. (Terdapat dalam pasal 5)

Selain itu, dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) IKAHI (Ikatan Hakim Inndonesia) ke XIII di Bandung Tanggal 21 Februari Tahun 2001 menghasilkan sebuah peraturan mengenai kode etik profesi Hakim yang merupakan satu-satunya kode etik yang berlaku bagi para hakim Indonesia. Munas ini dipimpin oleh Pimpinan Musyawarah Nasional XIII yaitu H. Sakir Ardiwinata, SH, Deliana Sayuti Ismudjoko, S.H, dan Drs. H. Matardi, S.H dengan sekretaris Dwiarso Budi Santiarto, SH.

Kode etik profesi hakim menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Tetapi kenyataannya sekarang Hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik. Kalaupun ada biasanya akan ditangani oleh komisi yang dibentuk oleh Komisi Yudisial, Pengurus Pusat IKAHI dan Pengurus Daerah IKAHI untuk memantau, memeriksa, membina, dan merekomendasikan tingkah laku hakim yang melanggar atau diduga melanggar Kode Etik Profesi

Banyak realita yang bisa dilihat. Misalnya, hakim disuap agar pihak yang salah tidak diberikan hukuman yang berat bahkan dibebaslepaskan dari segala tuntutan. Hal ini jelas melanggar kode etik hakim yaitu yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Dalam ayat (2) yaitu Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Selain itu, hakim juga sering menggunakan jabatannya tidak pada tempatnya. Misalnya, seorang hakim menggunakan jabatannya untuk menguntungkan pribadinya karena orang melihatnya sebagai seorang hakim. Ditambah lagi ketika memanfaatkan jabatn tersebut banyak orang lain yang dirugikan. Hal ini bertentengan dengan kode etik profesi yang difasilkan dalam Munas XIII di Bandung yaitu mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi.

Kenyataannya, masih banyak lagi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Hakim. Tetapi, memang publik kurang mengetahuinya karena tidak begitu diangkat di ranah publik. Dan pemberian sanksi nya pun belum begitu tegas terbukti masih banyak terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim. Padahal, hakim adalah cermin pengadilan. Sehingga, dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim berarti mencoreng nama pengadilan sebagai contoh lembaga yang harus diteladani menjadi lembaga yang sudah tidak percaya lagi kredibilitasnya oleh masyarakat.

2. Hukum, Moral, dan Agama sebagai landasan praktek kode etik profesi hakim Indonesia

Sebelum penjabaran pembahasan hukum, moral, dan agama yang harus digunakan hakim dalam menjalankan aplikasi kode etik profesinya, berikut penulis paparkan matriks sebelas asas etika perilaku hakim dan empat penggolongan kewajiban hakim:

Dari matriks diatas dipaparkan bahwa sebelas asas etika prilaku hakim bahwasannya adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat moralitas yang merupakan ajaran agama mengenai akhlaq yang berbanding lurus dengan keimanan seseorang.

Norma etika (profesi) hukum dapat disebut sebagai bagian dari ilmu tentang ahlak (akhlak, budipekerti) atau moral science. Norma etika profesi hukum (sebagai bagian dari “ilmu ahlak”) mengatur kewajiban para anggota profesi hukum (hakim, penuntut umum, advokat dan notaris) berperilaku yang dapat disetujui oleh orang-orang yang adil (that merit the approval of just men). Menurut logika, maka anggota profesi hukum yang berperilaku melanggar norma etika, harus dikenakan sanksi (tindakan disiplin). Ada dua alasan (kategori alasan) utama untuk memberi tindakan disiplin pada perilaku seorang anggota profesi hukum (tentunya termasuk hakim), yaitu:

· perilaku yang mengingkari moral (morally wrong); dan

· perilaku yang sangat tercela dan menghina profesi hakim, sehingga yang bersangkutan tidak pantas lagi menjadi hakim (unworthy to continue as a judge).

Tentang kewajiban Hakim kepada masyarakat melambangkan adanya kewajiban pada hakim untuk berperilaku terhormat (honorable), murah-hati (generous) dan bertangggungjawab (responsible). Hal itu berarti bahwa seorang anggota profesi hakim tidak saja harus berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus pula mendapat kepercayaan publik, bahwa seorang hakim akan selalu berperilaku demikian.

Pengadilan diadakan untuk memberi keadilan, dikatakan juga sebagai “tempat kedudukan keadilan” (the seat of justice). Karena itu pengadilan harus melayani kepentingan masyarakat (serve the public interest) dan bukan kepentingan negara atau pemerintah. Ketentuan pertama “berperilaku adil”, harus mengacu pada rasa keadilan dalam masyarakat. Seorang hakim juga tidak boleh dipengaruhi oleh permintaan untuk “berpihak” (partisan demands) atau dipengaruhi oleh keinginan untuk mendapat popularitas pribadi. Karena itu seorang hakim harus mendengar dengan cermat pendapat dari kedua belah pihak dalam konflik (penggugat dan tergugat; penuntut umum dan terdakwa).

Tentang kewajiban hakim kepada pengadilan, perilaku seorang hakim harus bebas dari ketidak pantasan atau ketidak patutan (improper behavior; improprietary). Seorang hakim harus selalu menginsyafi bahwa perilakunya akan dapat mencoreng jabatan dan citra pengadilan. Karena itu perilakunya di dalam sidang maupun dalam keseharian haruslah tanpa cela (beyond reproach). Seorang hakim harus mengusahakan agar tidak terlibat dalam kegiatan yudisial (bertindak selaku hakim) dimana kepentingan pribadinya tersangkut. Dia harus berperilaku jujur, netral (impartial), tidak takut pada kritik masyarakat, tidak mengharapkan mendapat pujian masyarakat dan menjaga kepercayaan masyarakat kepada pengadilan.

Hakim juga harus menjaga kewibawaan sidang pengadilan yang sedang berada dalamproses mengadili. Karena itu dia harus memimpin sidang dengan menjaga tata-tertib dan aturan-aturan sopan santun (decorum). Dia harus menunjukan sikap penghargaan profesional (professional respect) kepada sesama hakim (dalam majelis yang sedang bersidang), kepada penuntut umum, advokat, terdakwa dan para saksi.

Perilaku bercirikan kejujuran melarang hakim untuk bersikap curang dalam perkara yang dihadapinya. Dia dapat berperilaku curang karena antara lain. dipengaruhi oleh ambisi dan kepentingan diri (pengaruh politik), maupun dipengaruhi oleh pemberian hadiah, ataupun suatu “kebaikan” (favor).

Tentang kewajiban hakim kepada sejawat hakim maupun sejawat profesi hukum lainnya, seorang hakim harus memahami pula bahwa tugasnya untuk menerapkan hukum dan undang-undang melalui penfsirannya, kepada kasus yang dihadapinya, membawa/mempunyai dampak pada perkembangan hukum (the development of the law). Karena itu dalam menafsirkan undang-undang pada kasus tertentu, ia harus sangat hati-hati dan harus dapat dan berani mempertanggungjawabkan keputusannya itu kepada sejawat hakim lain maupun sejawat profesi hukum lainnya. Terutama dalam keadaan negara Indonesia, dimana perkembangan hukum masih harus disesuaikan dengan masyarakat Indonesia yang majemuk dan kompleks, maka putusan hakim yang menafsirkan suatu aturan hukum, yang dibuat oleh eksekutif bersama yudikatif, dapat mempunyai dampak besar (misalnya hak rakyat atas ganti rugi tanah yang diperlukan oleh pemerintah; atau pengertian merugikan keuangan negara; atau bentuk pencemaran nama baik oleh media pers).

Untuk dapat berperilaku menjunjung tinggi harga diri seorang hakim harus mencegah tumbulnya kecurigaan bahwa dirinya dan jabatannya telah dimanfaatkan (oleh hakim tersebut atau orang lain) untuk meyakinkan atau memaksa seseorang atau suatu perusahaan memberi sumbangan kepada suatu usaha komersial. Karena itu seorang hakim harus menahan diri mempergunakan kekuasaan jabatannya (the power of his office) untuk kepentingan bisnis atau untuk memenuhi ambisi pribadi ataupun politik seseorang. Perilaku semacam ini akan menimbulkan citra buruk terhadap profesi hakim, maupun profesi lainnya yang berhubungan dengan pengadilan.

Untuk menghargai waktu yang telah disediakan oleh mereka yang berperkara (termasuk saksi-saksi, penuntut umum dan advokat), maka sering hakim harus menunjukkan sikap berdisiplin tinggi. Hal ini berarti bahwa hakim harus tepat waktu dalam memulai sidang, karena kelambatan dan kelambanan dalam proses persidangan akan sangat merugikan mereka yang mempunyai tugas-tugas lain, di samping kewajiban kehadiran mereka dalam sidang hakim bersangkutan. Agar sidang dapat diarahkan dengan baik, disiplin hakim mencakup pula kerajinannya mempelajari berkas perkara sebelum hari sidang.

Agar sidang tidak berjalan lamban dan tidak efisien dan menjadi tidak efektif, maka perilaku hakim yang berdisiplin tinggi adalah juga berarti menegakkan disiplin itu pada dirinya dan jalannya sidang. Hal itu berarti bahwa hakim harus menghargai sikap profesional pada dirinya, maupun para pihak yang berperkara. Setiap tindakan atau perilaku tidak-profesional yang terjadi dalam sidangnya harus segera ditertibkan dan diperbaiki, dimana perlu dengan memproses tindakan tidak-profesional tersebut untuk dilaporkan kepada organisasi profesi yang bersangkutan, agar dapat diperiksa dan dikenakan tindakan disiplin.

Termasuk dalam kewajiban hakim pada para sejawatnya adalah berperilaku rendah hati. Didalam sidang hakim itu (sangat) berkuasa. Dia dapat menerima ataupun menolak permintaan para pihak dalam perkara (misalnya menghadirkan saksi) atau “mengusir” seseorang dari ruangan sidang. Dengan berperilaku rendah hati, seharusnya hakim tidak “memamerkan” kekuasaannya ini. Hakim harus ramah pada teman sejawat hakim (yang duduk sebagai anggota majelis yang bersangkutan), juga kepada para kuasa dari para pihak (penuntut umum dan advokat), serta tentunya juga pada para saksi dan terdakwa atau penggugat dan tergugat. Terutama keramahannya ini harus ditujukan kepada para teman sejawat hakim dan sejawat lainnya yang masih muda dan belum berpengalaman.

Tentang kewajiban hakim kepada para pihak dalam perkara, tentunya kewajiban ini yang paling disorot publik dan menuai banyak perdebatan tentang isinya dan apakah suatu perbuatan (yang dianggap merugikan salah satu pihak berperkara) adalah perbuatan yang perlu mendapat sanksi disiplin. Hakim harus berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, dan berperilaku menjunjung tinggi kesetaraan di hadapan hukum.

Banyak kasus yang dibawa ke pengadilan adalah kasus yang “samar-samar” hukumnya (khususnya kalau diterapkan pada perkara bersangkutan). Tindakan pidana yang dilakukan tidak sebanding dengan hukuman yang diterima. Hakim harus bersikap mandiri. Disini pula tepat untuk mengingatkan kembali tentang bahaya penerimaan hadiah, pepatah kuno mengatakan: “hadiah akan membutakan mata dan menyesatkan kata-kata seorang yang arif bijaksana(a gift does blind the eyes of the wise, and pervert the words of the righteous). Kemandirian pengadilan (independency of the judiciary) sering “dikumandangkan” sebagai hak dari sistem peradilan (kekuasaan kehakiman) yang diamanatkan dalam konstitusi. Tetapi sering para “penuntut hak” itu lupa, bahwa lebih utama bagi publik (masyarakat pencari keadilan) adalah kewajiban hakim untuk bersikap mandiri. Jadi berarti bahwa hakim tidak boleh di “dorong” untuk bersikap partisan (memihak). Sikap ini sering juga sukar bagi hakim, karena kedua belah pihak yang sedang berada dalam “konflik” tentunya menginginkan hakim untuk “berpihak (membenarkan)” argumentasi masing-masing

Juga akan sukar bagi hakim apabila ada “tekanan kekrabatan” (kinship influence). Memang seorang hakim harus mengundurkan diri bila salah satu pihak dalam perkara mempuyai hubungan kekeluargaan dengannya, tetapi “hubungan kekrabatan dalam sistem keluarga besar” akan menyukarkan dirinya untuk menghindar dari usaha-usaha mempengaruhinya. Karena itulah disyaratkan bahwa seorang hakim mempunyai integritas tinggi, sikap ini tidaklah hanya berarti “jujur dan dapat dipercaya”, tetapi juga mencerminkan keteguhan dalam pendirian (istiqamah; strength and firmness of character).

Ada kalanya hakim secara tidak sadar akan membiarkan suatu perkara berlarut-larut (delay in the administration of justice), mungkin karena kesibukannya sendiri, sehingga tidak mempersiapkan diri untuk memahami perkara, atau karena “sungkan” (merasa tidak enak hati) untuk menolak permintaan salah satu pihak, karena advokat (atau penuntut umum) adalah teman dekatnya. Diperlukan kekuatan dan keteguhan untuk tetap berperilaku adil agar perkara dapat selesai dengan “cepat dan biaya murah”. Dalam menghadapi perkara-perkara yang harus diadilinya seorang hakim juga harus menjunjung tinggi asas kesetaraan di muka hukum (equality before the law). Ia tidak boleh terpengaruhi oleh pangkat (jabatan), status sosial, suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, agama dan kepercayaan, dan aliran politik seseorang yang dihadirkan dimuka sidangnya. Ia harus meyakini adanya tingkat atau kedudukan yang sama dari setiap orang dimuka hukum. Kesetaraan dimuka hukum ini harus diartikannya juga setelah hakim tersebut memberikan putusannya. Karena itu dia harus secara adil juga menguraikan dengan seksama argumentasi yang diajukan oleh pihak yang dikalahkan olehnya dalam perkara tersebut. Uraian tersebut harus dapat menunjukkan bahwa hakim tersebut telah pula dengan seksama mempertimbangkan argumentasi pihak yang dikalah-kannya. Pendapat hukum dari hakim ini (judicial opinion; legal reasoning) merupakan pula bukti bahwa hakim yang memutus dalam tingkat perkara tersebut memberikan sepenuhnya hak kepada pihak yang kalah untuk meminta banding atas putusan perkaranya, pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.

Dari penjabaran diatas jelas menyatakan bahwa kode etik profesi hakim merupakan penjelmaan dari nilai-nilai etika dan sikap terpuji yang merupakan cerminan moralitas yang baik yang bersumber dari ajaran agama. Hal ini tentunya tidak lepas dari nilai akhlaq yang juga merupakan ajaran-ajaran agama yang harus diamalkan dalam bermuamalah.

Hal ini dikarenakan, ilmu hukum dalam keotentikannya merupakan ilmu yang sarat dengan moral dan moralitas. Ilmu hukum merupakan realitas kodrati yang eksis dan tertanamkan di setiap hati nurani manusia dan a priori terhadap segala bentuk perilaku manusia. Dalam posisinya sebagai norma kehidupan seperti itu, maka ilmu hukum merupakan ilmu amaliah. Artinya, tidak ada ilmu hukum tanpa diamalkan, dan tidak ada sesuatu amalan digolongkan bermoral kecuali atas dasar ilmu hukum.

Bagaimanapun perkembangan ilmu hukum harus berjalan secara wajar, sehat dan mampu menjadi pendorong terwujudnya kehidupan yang lebih adil, bahagia dan sejahtera. Dalam konteks pemikiran demikian, maka keutuhan moral dengan ilmu hukum harus tetap dijaga, baik pada tataran teoretis maupun praktis. Moral dan moralitas religius, sebagai fondasi utama untuk merespon keterpurukan perkembangan ilmu hukum sangat penting, karena pada tataran paradigmatis, filosofis maupun empiris, sejarah kehidupan manusia di belahan bumi manapun telah terbukti bahwa agama mampu menjadi pilar-pilar yang kokoh bagi terwujudnya perikehidupan dan penegakan hukum yang benar-benar adil.

Apa yang dimaksud dengan moral di sini tidak lain adalah akhlak. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jamak dari kata khuluq. Khuluq berarti tabiat, watak, perangai dan budi pekerti yang bersumber atau berinduk pada al-Khaliq (Tuhan Yang Maha Esa). Akhlak (khuluq) sebagai hal yang melekat dalam jiwa, yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan yang dengan mudah untuk dilakukan tanpa dipikir dan diteliti. Jika hal-ihwal jiwa itu melahirkan perbuatan-perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syara’, maka hal-ihwal itu disebut khuluq yang baik, sebaliknya jika yang keluar darinya adalah perbuatan-perbuatan buruk, maka hal-ihwal jiwa yang menjadi sumbernya disebut khuluq yang buruk. Dengan demikian setiap perbuatan individu maupun interaksi sosial tidak dapat lepas dari pengawasan al-Khaliq (Allah swt).

Dari definisi itu dapat ditegaskan bahwa akhlak senantiasa berkaitan dengan nilai baik dan buruk. Pertanyaan yang muncul kemudian dengan definisi ini adalah masih relevankah memposisikan al-Khaliq sebagai sumber, induk dan tolok ukur untuk penilaian baik dan buruk, sehingga dapat dibedakan antara akhlak yang baik/mulia (akhlaq al-karimah) dan akhlak buruk/jahat (akhlaq al-madzmudah)? Bagi orang-orang yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah swt, tentu tidak akan pernah ada keraguan barang sedikitpun bahwa sumber, induk dan tolok ukur tertinggi akhlak adalah Allah swt. Dialah Yang Maha Benar (al-Haq) dan daripada-Nya asal-usul kebenaran itu. Dia pula Yang Maha Adil (al-Adl) dan daripada-Nya keadilan absolut berasal. Berasal dan berawal dari-Nya dan akan terpulang kepada-Nya, segala amal manusia baik yang tergolong bermoral maupun amoral. Ajaran demikian itu telah sampai pada semua manusia melalui agama yang diwahyukan kepada para Rasul dan selanjutnya oleh para Rasul diajarkan, dijelaskan bahkan dicontohkan dalam segala aspek kehidupan. Inilah yang saya sebut dengan moral religius.

Moral religius merupakan moral kehidupan. Apabila kita sepakat bahwa seluruh aspek kehidupan tidak ada yang bebas, lepas dan netral dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan, maka sebenarnya apa yang disebut moral religius menjadi identik dengan moral ilmu hukum. Jangkauan dan cakupan moral religius menjadi sangat luas, menyeluruh dan menyentuh semua sendi-sendi kehidupan bagi siapapun, di manapun dan kapanpun. Dengan kata lain, moral religius atau moral ilmu hukum bersifat universal.

Dalam keuniversalannya, moral religius mengandung karakteristik sebagai berikut:

Pertama, berkarakter teistik. Tuhan itu Esa, dan dengan keesaan-Nya telah meliputi segalanya, sehingga tidak tersisa barang sedikit pun untuk men-Tuhan-kan yang selain Allah swt. Nilai-nilai moral absolut hanya ada pada Dia, dan oleh sebab itu segala bentuk aktivitas manusia, termasuk dalam berolah ilmu hukum harus berporos, berproses, dan bermuara kepada-Nya. Dengan kata lain, ilmu hukum yang bermoral adalah ilmu hukum yang dibingkai oleh pandangan dunia yang teistik. Sebaliknya, terhadap ilmu hukum yang menempatkan selain Allah swt sebagai ukuran kebaikan, kebenaran dan keadilan, pantas dipertanyakan komitmen moralnya. Dalam konteks ini semestinya, kita ingat akan sentilan Allah swt dalam firman-Nya yang berbunyi: ”Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50).

Kedua, berkarakter manusiawi. Moral religius, sebagaimana agama itu sendiri adalah tiang kehidupan. Moral religius menjamin terwujudnya kehidupan manusia agar tegak dan konsisten, tidak mudah tergoyahkan oleh berbagai perubahan dan hasutan yang membawa kepada kerusakan. Berolah ilmu hukum atas dasar moral religius, pada dasarnya beraktivitas dalam pemenuhan tuntutan fitrah manusia. Ilmu hukum yang bermoral adalah ilmu hukum yang mampu menjadi pemandu dan obat kerinduan manusia pada kebaikan, kebenaran dan keadilan absolut. Oleh sebab itu, ilmu hukum dituntut bersifat fasilitatif terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia baik lahir maupun batin. Ilmu hukum harus mampu memanusiakan manusia seutuhnya, dan mampu mencegah, membetengi, dan melindungi dari setiap upaya yang melanggar hak asasi manusia.

Ketiga, berkarakter realistik. Moral religius menaruh perhatian terhadap kebebasan, kelebihan maupun kelemahan yang melekat pada diri setiap manusia. Realitas seperti itu benar-benar diperhatikan, sehingga walaupun semua manusia telah dititahkan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding makhluk-makhluk lain, akan tetapi realitas yang terjadi dapat sebaliknya yakni manusia berada jauh di bawah martabat seekor binatang. Dalam kondisi seburuk apapun, moral religius mampu memberikan jalan keluar terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia karena keterbatasannya itu. Terbuka ampunan terhadap orang-orang yang terlanjur menganiaya diri sendiri, tetapi kemudian sadar akan kesalahannya dan segera mohon ampun serta segera kembali ke jalan yang benar. Terhadap orang-orang melanggar hukum Tuhan karena terpaksa (bukan karena sengaja), tiadalah diketegorikan dia berdosa. Moral religius, dengan demikian sangat peduli terhadap realitas plural yang dihadapi setiap manusia, termasuk pluralitas hukum, asalkan kemajemukan itu masih dalam bingkai kebebasan yang dituntunkan agama.

Keempat, berkarakter holistik. Sebagaimana kita sadari bahwa ilmu hukum akan selalu eksis bersamaan dengan eksistensi manusia. Manusia dalam eksistensinya, tidaklah berdiri sendiri dan terpisah dari entitas lain. Dalam proses kehidupan akan selalu ada komunikasi dan interaksi dengan entitas lain, baik vertikal terhadap Tuhan maupun horizontal terhadap makhluk-makhluk lain. Moral religius menyediakan ruang-gerak untuk berlangsungnya keseluruhan komunikasi dan interaksi tersebut. Derajat, kualitas dan moralitas ilmu hukum akan terlihat dari seberapa besar ruang-gerak yang diberikan oleh ilmu hukum dalam memfasilitasi proses komunikasi dan interaksi keseluruhan entitas, sehingga menjadi jelas bahwa tidak ada entitas manapun yang terabaikan. Moralitas religius senantiasa mendorong kesatuan yang mendasari tatanan penciptaan maupun tujuan penciptaan semua makhluk, dalam dimensi waktu lampau, kini maupun yang akan datang, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dengan begitu, ketika ada perbedaan persepsi, pandangan, konsep, teori dan apapun di antara entitas yang eksis dalam kehidupan ini, maka yang terjadi adalah saling menyapa, saling memberi, saling berbagi dan bukan saling membenci, mencaci, ataupun mereduksi. Moralitas religius senantiasa menempatkan dan menghormati setiap entitas dalam kedudukannya sebagai subjek dan tidak sekali-kali mengobjekan pihak lain. Ilmu hukum yang bermoral religius senantiasa merengkuh pandangan holistik dalam menggarap objeknya, dan tidak sekali-kali membuang ataupun menafikan eksistensi sebuah entitas. Dalam konteks ini kita telah diingatkan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam suatu ukuran tertentu dan menetapkan baginya suatu tujuan. ”Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apapun yang ada di antara keduanya tanpa hikmah . . . (as-Shaad: 27).

Secara teoritis, hukum Indonesia tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa Indonesia. Hukum tertinggi Negara, UUD 1945, dimulai dengan klausal “berkat ramat Allah”, mengandung prinsip dasar Ketuhanan yang Maha Esa dan pengakuan terhadap agama. Agama adalah sumber moralitas yang paling kokoh bagi bangsa Indonesia. Moralitas sebagai nilai baik buruk berasal dari agama, hati nurani, dan pikiran yang sehat.

Dalam Islam, ketiga hal ini menjadi satu. Sementara itu hukum pada awalnya adalah nilai-nilai moral yang disepakati menjadi nilai-nilai hukum sehingga menjadi aturan hukum atau perundang-undangan. Karena itu, hukum yang langsung berasal dari moralitas akan mendapat penghormatan dari masyarakat karena hukum tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, hukum, moral, dan agama merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Agama merupakan aturan yang merangkum tentang nilai-nilai akhlaq yang baik yang merupakan aplikasi konkrit dari sebuah moralitas. Sehingga hukum disini adalah nilai-nilai moral yang disepakati menjadi nilai-nilai hukum sehingga menjadi aturan hukum atau perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, nilai-nilai yang diajarkan agama berupa akhlaq yang merupakan apilkasi langsung dari nilai moralitas yang baik akan menjadi landasan pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan.

Kode etik profesi hakim merupakan sebuah hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tetap dan tegas yang bersumber dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama berupa akhlaq yang melahirkan nilai-nilai moralitas hakim yang baik. Dan hakim dalam menjalankan etika profesinya sudah pasti harus diikuti pula dengan keimanan seorang hakim terhadap agamanya karena hal tersebut akan menunjukan moralitas yang dimiliki oleh seorang hakim sehingga ia akan menjalankan etika profesinya dengan baik.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan adanya kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya harapannya adalah untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Tetapi kenyataannya sekarang Hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik.

Untuk itu, butuh adanya suatu landasan bagi hakim untuk menerapkan kode etik profesinya dalam praktek sehari-hari. Hal ini karena kode etik hanya merupakan sebatas aturan saja. Adanya Komisi Yudisial ataupun komisi yang dibentuk oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) belum mencukupi dalam mengawasi hakim menjalankan tugasnya. Dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik profesinya tersebut.

Hal ini dikarenakan, kode etik profesi hakim merupakan sebuah hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tetap dan tegas yang bersumber dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama berupa akhlaq yang melahirkan nilai-nilai moralitas hakim yang baik. Dan hakim dalam menjalankan etika profesinya sudah pasti harus diikuti pula dengan keimanan seorang hakim terhadap agamanya karena hal tersebut akan menunjukan moralitas yang dimiliki oleh seorang hakim sehingga ia akan menjalankan etika profesinya dengan baik.

Sebuah aturan (kode etik) yang bersumber dari nilai-nilai kebaikan sudah tentu akan bisa dijalankan dengan niat dan cara yang baik pula.

B. Saran

1. Hendaknya para Hakim harus memahami dan menyadari kode etik profesinya agar dapat diaplikasikan sehingga apa yang menjadi tujuan adanya kode etik tersebut dapat tercapai.

2. Dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik profesinya tersebut

3. Harus ada sanksi yang tegas bagi para hakim yang melanggar etika profesinya dalam hal ini bisa berfungsi sebagai langkah preventif agar hakim enggan melanggar kode etik tersebut dan sebagai langkah represif yang tegas ketika hakim melanggar kode etik tersebut.

4. Hendaknya kepada masyarakat agar segera melaporkan apabila mengetahui ada hakim yang melanggar kode etik profesinya agar bisa ditindaklanjuti.

5. Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berfungsi untuk mengawasi hakim, hendaknya lebih peka dan tegas dalam menangani hakim-hakim yang bermasalah demi menjaga kredibilitas hukum di Indonesia.