Wednesday, 8 July 2009

kesiapan pilpres

PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DITINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Sebagai Pengganti Kuis Pada Mata Kuliah
Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta


DISUSUN OLEH:
Nunik Nurhayati (E0005238)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan dalam dua kali pemilihan yaitu untuk memilih anggota legislatif pada tingkat DPR, DPRD, DPRD II, dan DPD dan pemilihan umum untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan umum anggota Legislatif sudah dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 dengan perolehan suara terbesar yang masuk dalam electoral threshold lebih dari 2,5% suara yang diperoleh yaitu Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Hati Nurani. Sedangkan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden akan dilasanakan pada tanggal 8 Juli 2009. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut mengatur pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden secara terperinci, termasuk di dalamnya adalah proses pencalonan sampai pada pelaksanaan teknis pemilihan umum.
Menurut Lawrence Friedmen dalam teorinya menyatakan bahwa sebuah peraturan atau kebijakan dapat dilihat dari 4 hal yaitu legal substantion, legal structure, legal function dan legal culture. Legal substantion dimaksudkan bahwa hukum atau peratuan yang diterapkan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 tidak bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi. Bahkan Undang-undang tersebut menerapkan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat yang dilaksanakan oleh Undang-undang dasar dan pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipiilih secara langsung oleh rakyat. Legal structure dimaksudkan bahwa peraturan atau kebijakan harus disertai dengan komponen pelaksana yang baik. Dalam hal ini, Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 mengatur tentang Komisi Pemilihan Umum yang berfungsi sebagai lembaga negara yang bertugas untuk melaksanakan teknis pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Legal Function dimaksudkan bahwa peraturan atau kebijakan harus memiliki tujuan dan fungsi yang jelas agar maksud dari hukum yang baik dapat terlaksana. Legal Culture dimaksudkan bahwa peraturan atau kebijakan harus bisa dipahami agar masyarakat dapat melaksanakan kebijakan atau peraturan tersebut.
Dari keempat hal berdasar teori Lawrence Friedmen diatas dapat dilihat bahwa keempat hal tersebut sudah memenuhi kriteria Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 sebagai peraturan atau kebijakan yang baik sehingga keberadaan formal yuridisnya sudah tepat. Yang akan menjadi pembahasan adalah legal culture yaitu kesiapan masyarakat dalam melaksanakan aturan yang ada dalam Undang-Undang tersebut. Dalam hal ini harus dikaji lagi secara lebih mendalam agar dapat dilihat apakah undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 yang mengatur tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden benar-benar dapat diterima oleh masyarakat sehingga masyarakat siap mengikuti pelaksanaan pemilihan umum tersebut.
Untuk itu, persiapan dan pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dapat ditinjau dari sosiologi hukum agar bisa dilihat bagaimana keadaan sosial masyarakat dalam hal ini kesiapan masyarakat dalam mengahdapi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden mendatang. Hal ini dikarenakan Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan Sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum,dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
1. Bagaimana kesiapan dari masyarakat Indonesia untuk mengikuti pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden ditinjau dari sosiologi hukum.


BAB II
PEMBAHASAN

Kesiapan Masyarakat Indonesia Untuk Mengikuti Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Ditinjau Dari Sosiologi Hukum.
Definisi sosiologi (1839) yang berasal dari kata latin socius yang berarti “kawan” dan kata Yunani Logos yang berarti “kata” atau “bicara”. Jadi sosiologi berarti “bicara mengenai masyarakat” bagi Auguste Comte sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada
perkembangan ilmu pengetahuan. Comte berkata bahwa sosiologi harus dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak kepada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat. Menurut Soerdjono Soekanto, Hukum adalah gejala sosial, ia baru berkembang di dalam kehidupan manusia bersama. Ia tampil dalam menserasikan pertemuan antar kebutuhan dan kepentingan warga masyarakat, baik yang sesuai atau tidak. Hal ini berlangsung karena manusia senantiasa hidup bersama, saling ketergantungan.
Sehingga, sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala social lain. Ini karena sejak dilahirkan di dunia ini manusia telah sadar bahwa dia merupakan bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia tadi memiliki kebuyaan. Selain itu, manusia sebetulnya telah mengetahui, bahwa kehidupan mereka dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan dan pedoman.
Sosiologi hukum juga dapat membantu untuk memberikan kejelasan mengenai
kemampuan yang ada pada undang-undang serta pengaruh-pengaruh apa saja yang
dapat ditimbulkan oleh bekerjanya undang-undang itu dalam masyarakat. Menurut Soejono Soekanto, sosilogi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya. Menurut R. Otje Salaman. Sosiologi hukum (ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis). Jelas terlihat berdasarkan definisi para ahli bahwa sosiologi hukum adalah segala aktifitas social manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi hukum.
Hukum secara sosiologis adalah merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola-pola perikelakuan yang berkisarpada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia Vinogradoff mengemukakan, bahwa norma hokum itu tumbuh dari pratek-pratek yang dijalankan oleh anggota masyarakat dalam hubungan satu sama lain yaitu pratek-pratek yang dituntut oleh pertimbangan memberi dan menerima dalam hubungan mereka satu sama lain yang diukur oleh pertimbangan kepatutan.
Dengan memerlukan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum, Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif, Hukum Sebagai Sosial Kontrol dan Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, yang merupakan sebagai tolak ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam masyarakat, apakah norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar bagaimana pernerapan sangsi, sebagai yang melakukan pelanggaran tersebut.
Dari penjelasan mengenai sosiologi hukum diatas, maka dapat dijadikan landasan teori bagaimana kesiapan masyarakat dalam menghadapi Pemilihan umum Presiden dan wakil presiden mendatang. Dalam UU nomor 42 Tahun 2008 dimana disana diatur tentang pelaksanaan teknis pemilihan umum presiden dan wakil presiden, dapat dilihat bahwa peran masyarakat sangat besar untuk dapat mensukseskan pesta demokrasi terbesar tahun ini. Untuk itu, dengan melihat perangkat yang dibutuhkan yaitu kesiapan masyarakat itu sendiri akan dapat menjadi acuan untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan pemilihan umum baik untuk KPU sebagai pelaksana teknis ataupun pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk memenangkan pemilihan umum tersebut.
Masyarakat Indonesia belum semuanya tergolong pemilih cerdas. Artinya, dari segi pemahaman makna pemilihan umum itu sendiri, tata cara pelaksanaan pemilihan umum, bahkan sampai pada pemahanan mngenai kualitas calon yang akan dipilih dalam pemilihan umum. Hal ini terbukti dengan hasil dari pemilihan umum legislatif yang lalu dimana calon anggota DPD no.31 di 12 propinsi di Indonesia lolos menjadi anggota DPD. Padahal, sosok dari calon DPD ini bisa dikatakan tidak familiar di masyarakat. Hal ini di karenakan, asumsi masyarakat yang saat ini dsedang terhevoria dengan nomor urut partai no.31 yang sedang menjadi partai besar tahun ini di Indonesia.
Hal ini harus menjadi perhatian lebih dari berbagai pihak terutama KPU sebagai pelaksana pemilihan umum. Karena bagaimanapun juga, keberhasilan pemilihan umum dari segi kualitas dan kuantitas pemilih adalah harapan dari seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Untuk itu, dari ilmu sosiologi hukum, dapat diambil uraian bahwa masyarakat Indonesia belum siap untuk melakukan pemilihan umum secara langsung. Tetapi, karena amanat UUD 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana agar masyarakat dapat siap menghadapi pemilihan umum tersebut. Maka,cara yang bisa dilakukan dengan waktu yang tidak banyak adalah kerja keras dari stockholder pemilihan umum untuk mencerdaskan masyarakat agar siap menghadapi pemilihan umum.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pelaksana teknis pemilu harus mensosialisasikan dengan efektif mengenai tata cara pemilihan umum. Hal ini harus dilakukan mengingat angka golput pemilihan legislatif yang lalu cukup banyak dikarenakan alasan rumit dalam pencontrengan. Dikhawatirkan, persepsi masyarakat akan sama dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden kali ini padahal pencontrengan lebih mudah karena hanya satu kali mencontreng. Walaupun nantinya, menurut UU nomor 42 Tahun 2008, apabila pasangan calon pada putaran I tidak memenuhi 50% lebih suara akan dilakukan lagi pemiliahn umum putaran II yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon dengan suara terbanyak. Itu artinya, masyarakat harus disiapkan untuk mengahadapi pemilihan umum presiden tahap II.
Selain KPU, yang menjadi stockholder dalam pemilihan umum adalah peserta dari pemilihan umum itu sendiri yaitu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Terkait dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi pemilihan umum, maka pasangan calon presiden dan wakil presiden harus melaksanakan kampanye dengan cara yang sehat. Hal ini akan berpengaruh terhadap kecerdasan masyarakat pemilih untuk memilih secara sadar dan terbuka calon yang akan mereka pilih. Tidak bisa dipungkiri bahwa black campaign dengan menggunakan money politik masih sering ditemui dalam pemilihan umum di Indonesia. Peserta pemilihan umum lebih mengandalkan memberikan uang kepada masyarakat dalam kampanye agar masyarakat memilih calon tersebut dibandingkan meyakinkan kepada masyarakat pemilih untuk membuka pemikiran mereka agar dapat memilih yang terbaik dengan keyakinan yang berdasar. Apabila hal ini terus dibiarkan maka pada pemilihan umum selanjutnya hal ini akan terulang dan pemilihan umum yang berkualitas tidak akan pernah tercapai. Untuk itu, diperlukan kedewesaan para calon untuk bertanding secara sehat agar masyarakat juga dapat mendapat pendidikan politik yang baik. Selain itu, dengan kedewasaan para calon, nantinya calon yang kalah akan menerima dengan legowo apapu hasilnya karena semua merasakan pemilhan umum ini dilaksanakna secara baik. Sehingga, tujuan demokrasi yang sebenarnya akan tercapai karena semua pihak menerima apapun hasil yang didapat.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang tersebut mengatur pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden secara terperinci, termasuk di dalamnya adalah proses pencalonan sampai pada pelaksanaan teknis pemilihan umum. Sosiologi hukum sebagai ilmu pengetahuan dapat membantu untuk memberikan kejelasan mengenai
kemampuan yang ada pada undang-undang serta pengaruh-pengaruh apa saja yang
dapat ditimbulkan oleh bekerjanya undang-undang itu dalam masyarakat.
Untuk itu, stockholder yang ada dalam pemilihan umum yaitu KPU dan pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat menggunakan kajian sosiologi hukum untuk dapat melihat kesiapan masyarakat dalam menghadapi pemilihan umum itu sendiri. Dengan itu, masyarakat yang mempunyai peran yang sangat besar dalam keberhasilan tujuan pemilihan umum harus menjadi perhatian yang lebih untuk disiapkan. KPU dan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus melakukan sosialisasi yang efektif untuk pelaksanaan teknis pemilhan umum dan melakukan pendidikan politik yang baik agar masyarakat sebagi pemilih dapat meimilih secara cerdas. Sehingga, semboyan KPU dalam pemilihan umum ini yaitu ”pemilih cerdas untuk memilih pemimpin berkulaitas” dapat terlaksana dengan baik demi Indonesia yang lebih baik pula.

No comments:

Post a Comment