Bertepatan dengan Hari Pendidikan
pada tanggal 2 Mei 2017 yang lalu, saya mencoba melakukan refleksi terhadap
pendidikan kita. Dimana dalam beberapa waktu terakhir, telah digulirkan program
pendidikan karakter melalui kebijakan baru Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Bapak Muhadjir Effendi melalui kebijakan
sekolah sehari penuh (full day school). Sampai
saat ini sudah beberapa sekolah negeri yang telah memulai untuk menerapkannya.
Namun, ada juga suara - suara
sumbang yang pesimis terhadap keberhasilan kebijakan itu dengan alasan pihak
sekolah yang dianggap tidak siap. Selain itu, muncul pertanyaan apabila fullday school diterapkan bagaimana
peran orang tua dalam pendidikan karakter anak? siapakah penanggungjawab utama
pendidikan karakter sebenarnya?
Pihak yang merasa pesimis dengan
keberhasilan kebijakan ini, umumnya adalah karena penilaian terhadap guru yang
dianggap belum mampu menerapkan manajemen pendidikan yang baik di sekolah. Pada
sisi lain, ada ketidakpercayaan diri dari seorang tenaga pendidik. Bisa jadi
ketidakpercayaan diri itu muncul karena belum terinternalisasi standar moral pendidik
untuk mempunyai kapasitas guru sebagai sosok yang isa digugu lan ditiru. Sebagaimana ajaran Ki Hajar Dewantara.
Selain pada sisi tenaga pendidik
yang harus menjadi garda terdepan di dalam proses pendidikan karakter di
sekolah. Menurut Mohammad Ali (2017), seorang pengajar di Sekolah Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menuturkan tuntutan peran sekolah
harus semakin profesional dan terencana karena full day school bukan sekedar tambah jam pelajaran. Akan tetapi
juga perlu energi tambahan bagi pendidiknya terutama kepala sekolah dan guru
untuk menjadi teladan utama di dalam proses pendidikan karakter.
Saya sepenuhnya sepakat dengan pendapat
tersebut. Namun, sepertinya ada sisi yang terlewat di dalam mengungkap kunci keberhasilan
pendidikan karakter tersebut yaitu sinergi antar institusi lembaga sekolah dengan lembaga inti yaitu
keluarga. Secara sosiologis, keluarga adalah lembaga primer atau inti dalam
proses pendidikan karakter anak, sementara sekolah adalah lembaga kedua. Kebijakan full
day school tidak kemudian otomatis menggantikan secara penuh peran orang
tua siswa di dalam mendidik anaknya dengan akhlak mulia di keluarga. Oleh
karenanya, membebankan sepenuhnya tanggungjawab pendidikan karakter kepada
institusi sekolah tentu tidak sepenuhnya bisa diterima. Meskipun secara waktu anak
lebih banyak yang dihabiskan di sekolah daripada di rumah.
Untuk sekolah negeri yang akan
menerapkan full day school tak ada
salahnya untuk saling belajar kepada sekolah yang lebih dulu menerapkan metode
ini untuk penerapan pendidikan karakter. Bolehlah saya mengambil ilustrasi
singkat tentang bagaimana keberhasilan Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu
(SMPIT) Nur Hidayah Surakarta, sebuah sekolah swasta Islam yang telah
menerapkan full day school sejak
berdirinya sampai saat ini. Dengan hasil pendidikan karakter yang relatif
berhasil dan selalu masuk tiga besar tingkat Kota Solo dalam hal prestasi
belajar siswanya. Bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari Presiden Jokowi.
Di sekolah yang menerapkan sekolah
seharian penuh tersebut keberhasilan yang diraihnya ternyata bukan semata –
mata peran pendidik di sekolah. Akan tetapi, karena adanya sinergi antara
institusi sekolah dengan institusi keluarga yang dapat berjalan seiring sepemahaman
melalui pernak pernik program kegiatan yang disusun secara bersama. Itulah yang
menjadi faktor kuncinya. Di sini tak hanya anak yang sekolah, orang tuanya pun
ikut “sekolah” dan harus rela sedikit repot dengan berbagai urusan pendidikan
anaknya. Pertemuan orang tua melalui Forum Orang Tua Murid Guru (FOMG) rutin
diagendakan tiap bulan sebagai sarana komunikasi, bahkan Grup Orang Tua dan Guru
Wali Kelas di media online tiap hari tidak ada istirahatnya. Melalui media itu dilakukan
diskusi intensif parenting, juga perkembangan pendidikan anak, permasalahan dan
mencari solusi bersama.
Kenapa perlu sinergi kedua institusi
pembentuk karakter anak ini? Karena zaman kita saat kecil masih sekolah dengan
zaman anak kita saat ini jauh berbeda dengan segala tantangannya. Saat ini kita
menghadapi tantangan zaman teknologi informasi yang demikian canggih dan
menjadikan pola pendidikan juga harus menyesuaikan perkembangannya. Kondisi
berbeda manakala kita saat sekolah dulu di era 80 – 90an atau jauh sebelum itu,
saat itu pola pergaulan yang konvensional dan tradisional menandai suasana
keseharian. Kala itu, institusi sekolah menjadi utama dalam membangun karakter
anak. Sekolah benar – benar menjadi mandiri dan independen lantaran orang tua
sepenuhnya menyerahkan anaknya untuk dididik dan diajar selama setengah hari,
sisanya di rumah menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Sementara orang tua
datang ke sekolah saat tertentu saja, mengambil raport atau rapat orang tua
wali murid dalam penetapan SPP dan kemudian mengambil ijazah. Meski, ada juga
orang tua yang sering dipanggil ke sekolah oleh Guru Bimbingan Konseling
apabila anaknya bermasalah dengan pelanggaran aturan sekolah.
Lain zaman lain tantangan.
Berbeda kondisi saat ini, derasnya arus teknologi informasi, kontrol terhadap
anak dari orang tua harus semakin meningkat dan intensif. Kemudian tantangan
itu berusaha dijawab dengan ikhtiar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk
sekolah menjalankan full day school. Tujuannya
adalah mengurangi dampak negatif
pergaulan luar sekolah di era digitalisasi teknologi informasi dan meningkatnya
kesibukan orang tua yang bekerja di luar rumah.
Namun, sekali lagi sekolah seharian penuh bukanlah untuk mereduksi peran
orang tua yang sibuk bekerja di dalam mendidik anak. Melainkan upaya untuk
menambah kesibukan orang tua untuk terlibat secara aktif mendidik anak secara full day juga sehingga dengan sinergi
institusi keluarga dan sekolah, pendidikan karakter itu terwujud pada diri anak
Indonesia. Semoga.
Selamat HAri Pendidikan Nasional 2017.
Selamat HAri Pendidikan Nasional 2017.
Nunik Nurhayati, SH, MH
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (FH UMS) , Pegiat di Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA) Benih Solo