“Seberapa Berani Anda Membela Islam?” Na’im Yusuf bertanya melalui judul bukunya. Dari judul ini sekilas baca akan menggelitik naluri pembaca untuk menyelami samudra makna, apa maksud dari pertanyaan itu? Sekaligus memberikan ruang perenungan, introspeksi kepada pembaca sebagai pertanyaan retorika yang tidak membutuhkan jawaban karena masing-masing pembaca akan memiliki jawabannya masing - masing yang berbeda - beda. Sehingga dengan begitu, akan menarik diri pembaca untuk kemudian menyamakan persepsi apa jawaban tepatnya, dengan menyelesaikan membaca secara utuh dan tuntas buku ini.
Setelah menyelaminya secara seksama secara
garis besar, dan subjektif penulis resensi, buku ini setidaknya memberikan dua
pelajaran utama yaitu tentang makna keberanian dan 13 karakter keberanian yang utama. Serta pelajaran yang bisa dipetik bagi wanita muslimah dan Ilmu Parenting yang
bisa dilakukan orang tua muslim untuk menanamkan karakter utama tersebut kepada
anak - anaknya.
Makna Keberanian dan 13 Karakter Utama
Na’im Yusuf telah memberikan jawaban-jawaban
lugas kepada pembacanya melalui bab demi bab dalam buku ini. Penulis memulai
pembahasan awalnya dengan menjelaskan esensi makna sikap berani. Sikap berani
yang dalam bahasa Arab disebut Arrajulah
secara bahasa memang disematkan kepada sifat kelelakian, namun sikap pemberani
tidak identik dengan laki-laki saja namun juga kepada wanita. Tidak hendak
menyamakan antara laki-laki dan wanita sebagaimana kampanye kesetaraan gender paham
feminisme barat, karena memang secara kodrati, fitrah keduanya berbeda. Akan
tetapi, dalam segi ilmu dan wawasan, keserupaan laki-laki dan wanita itu adalah
hal baik. Dalam bahasa Arab ada ungkapan imra’atun
rajulah, yaitu wanita yang menyerupai laki-laki dalam kemampuan ilmu dan
wawasannya. Dalam sebuah hadits Nabi SAW disebutkan, Aisyah adalah wanita yang
seperti laki-laki dalam hal berpendapat. (Hal 3). Sampai disini makna berani
tidak terbatas pada sifat laki-laki saja, bahkan ada banyak contoh wanita-wanita
muslimah yang lebih berprestasi dari laki-laki dalam beberapa posisi sulit.
Betapa banyak wanita yang kualitasnya menyerupai seribu laki-laki bahkan lebih.
Contoh selain Aisyah adalah para shahabiyah Rasulullah Muhammad SAW; Khadijah,
Nasibah bin Ka’ab, Shafiyah binti Abdul Muthalib, Asma’ binti Abu Bakar dan
lainnya yang telah memberikan contoh kekokohan iman, ketaqwaan dan keberanian
untuk rela berkorban, aktif berbuat untuk kemuliaan Islam dan izzah umatnya.
Sebaliknya, Na’im Yusuf memberikan sebuah ilustrasi, betapa banyak laki-laki yang seperti perempuan lantaran dirinya direndahkan dengan perbuatan memperturutkan hawa nafsu syahwatnya semata. Kemudian penulis mengutip sebait syair sebagai ungkapan sindirian kepada lelaki tipe lemah seperti itu,
“Mereka
menambah beban berat bumi karena banyak jumlahnya.
Tapi mereka
tidak beraksi untuk sesuatu yang mulia”
Keberanian bukanlah sekedar kata, keberanian adalah jiwa yang bersemangat dan bergemuruh untuk senantiasa memegang teguh Ajaran Islam dan membela kemuliaannya tatkala dihinakan oleh orang yang memusuhinya. Buku yang dituliskan setebal 288 halaman itu banyak memberikan sebuah gambaran detail mengenai sifat-sifat keberanian, contoh-contoh keberanian dari para salafus sholeh dan karakter-karakter yang harus dipunyai oleh seorang muslim untuk berani membela agamanya.
Setidaknya ada 13 karakter yang harus dimiliki oleh kaum muslimin agar sifat pemberani tertanam kuat dalam dirinya maupun para generasi penerus Islam yang akan datang. Apabila dikategorikan, ketiga belas karakter itu bisa digolongkan ke dalam kategori bentuk sikap berani yang ofensif yang berguna untuk serangkaian cara mereaksi terhadap musuh yang menghinakan dan melakukan “serangan” balik. Dan kedua adalah kategori defensif (sikap bertahan) sekaligus. Keduanya adalah dimensi sikap yang harus seimbang agar keberanian sikap tidak semata menjadi sikap reaktif yang sporadis. Bukan sekedar berani yang asal berani, namun berani yang ada guidance, panduan yang jelas lagi syar’i. Sikap ofensif terwujud dalam tujuh karakter seperti “Menyeru ke Jalan Allah”, “Bersungguh-sunguh dan tanggap”, “Bersikap Aktif dan Bertanggungjawab”, “Bercita-cita yang tinggi”, “Berani di Atas Kebenaran”, “Berani”, “Berjihad dan Berkorban”. Sikap berani yang “ofensif” seperti ini sangat tepat untuk kondisi saat ini di saat Islam dinistakan. Dengan cita – cita menjaga kemuliaan agama Allah, semangat berani berjihad dan berkorban bersikap aktif, bersungguh-sungguh menyeru ke jalan Allah harus dibarengi dengan bersikap berani dan bertanggungjawab, tidak melanggar aturan hukum syar’i maupun hukum konstitusi yang berlaku.
Sementara untuk tetap istiqomah, kuat bertahan agar keberanian dalam membela Islam tetap terjaga, diperlukan enam karakter untuk defensif yaitu “Mencintai masjid”, “Mulia dan Terhormat”, “Teguh di Atas Kebenaran”, “Sabar dan Membiasakan Diri”, “Memenuhi Janji dan Jujur pada Allah SWT”, “Tidak Mudah Putus Asa dan Pesimis”. Bagaimanapun jalan untuk menapaki perjuangan meninggikan kalimat Allah dan membelanya tidak selalu mudah dan singkat. Banyak cobaan dan jalan panjang terbentang, maka strategi berani bertahan yang baik adalah mencintai masjid, karena bagaimanapun dari masjidlah semua bermula nilai kemuliaan dan kehormatan, kemudian sikap jujur menepati apa yang dijanjikan kepada Allah sebagai sebuah komitmen, teguh dalam jalan kebenarang, serta sabar dan membiasakan diri dalam kesabaran.Kemudian melawan putus asa dan pesimisme yang kadang menghinggapi jiwa yang lelah dalam menapaki jalan perjuangan adalah pilihan karakter utama untuk tetap tegar dan tidak goyah, gentar mengahdapi serangkaian ujian onak dan duri.
Dari ketiga belas karakter yang dituliskan itu, bisa dikatakan untuk mewujud dalam diri seorang muslim, karakter itu seharusnya tidak hanya menjadi sikap mental psikologis yang bersemayam dalam jiwa semata,akan tetapi juga harus mewujud dalam praksis tindakan atau perbuatan sehari-hari, sebagai amalan yaumiyyah setiap muslim yang mendambakan sifat berani itu tertanam kuat dalam dirinya.
Pelajaran bagi Muslimah dan Ilmu Parenting
Meskipun buku ini memberikan panduan
membentuk karakter pemberani kepada semua kaum muslim -baik laki-laki dan
perempuan secara umum- serta tidak dikhususkan kepada perempuan muslimah saja. Namun,
cita rasa pelajaran untuk perempuan muslimah disajikan secara apik oleh Na’im
Yusuf meskipun tidak terlalu banyak dan detail. Beliau menyajikan pelajaran
penting untuk perempuan muslimah dalam tiga sub tema, “Sifat Aktif Kaum Wanita”,
“Peran Kaum Wanita; Khaulah binti al-Azwar” dan “Jihad Kaum Wanita”
Untuk menekankan betapa pentingnya sifat
berani membela Islam ini dan harus dimiliki oleh kaum wanita muslimah, dalam
dua sub tema tersebut, penulis sampai dua kali mengutip sebait syair,
“Dan bila
para wanita menyembunyikan keberanian dari kita
Maka pasti
sudah, wanita lebih mulia dari laki-laki
Dan tidaklah
cacat bila matahari itu di-muannats-kan
Dan tidak
juga bila bulan itu di-mudzakar-kan
Syair di atas yang dikutip oleh penulis sebagai
pesan berharga untuk kaum wanita muslimah. Dimana dalam penjelasannya (Hal 75) disebutkan,
matahari dalam bahasa Arab disebut Syam,
dan bulan disebut dengan Qomar. Dalam
tata bahasa Arab, kata Syam disebut muannats (perempuan), dan Qomar disebut mudzakar (laki-laki). Secara logika, matahari lebih besar daripada
bulan dengan begitu, metafora ini memberikan gambaran bagaimana seorang wanita
muslimah mampu menjadi matahari yang lebih besar dan memberikan cahaya
penghidupan untuk semesta, dengan satu kata kuncinya, ada keberanian di dalam
dirinya.
Keberanian para muslimah untuk secara aktif berperan dalam jihad fi sabilillah untuk membantu tugas wajib yang dibebankan kepada kaum laki-laki muslim. Secara tidak langsung memberikan penjelasan untuk mematahkan argumen kaum feminisme barat yang mengandaikan bahwa para wanita Islam hanyalah makhluk lemah yang hanya tahu urusan domestik, sibuk di dalam rumah tangga saja atau disebut sebagai konco wingking dalam istilah Jawa. Dengan sifat berani membela Islam yang dicontohkan oleh shahabiyah, Khaulah binti al-Azwar menunjukan bukti sekaligus menuntun para wanita muslimah tidak hanya berperan di arena publik tetapi lebih jauh dari itu, berlaga dalam arena jihad qital fi sabilillah yang sesungguhnya.
Selain itu, patut dicatat sebuah tugas mulia lagi penting dari para orang tua muslim, terlebih seorang Ibu untuk menanamkan karakter pemberani yang disebutkan di atas kepada anak-anaknya, sebagaimana dicontohkan Shahabiyah Sumaira binti Qais, yang memotivasi, mendorong kedua putranya, An Nu’man bin ‘Amr dan Sulaim bin Harits untuk bergabung bersama Rasulullah berlaga di Uhud, hingga akhirnya Sumaira harus menerima kenyataan dengan lapang dada kedua putranya syahid di medan juang.
Pelajaran ini penting untuk diperhatikan karena dalam ilmu parenting di alam modern dengan banyaknya godaan teknologi dan ujian gaya hidup saat ini, banyak kendala yang dihadapi orang tua untuk memotivasi anaknya memiliki daya juang tinggi dengan kerelaan berkorban yang tinggi untuk meraih cita-cita yang mulia. Maka sangat relevan di akhir bab buku ini juga disampaikan ilmu parenting khas Islam, bagaimana para nabi menanamkan sifat optimisme dan melawan sikap pesimisme, ke-putus asa-an kepada anak-anaknya. Sikap tidak mudah berputus asa dan mampu menjadi pribadi-pribadi yang siap berjuang dan membela agamanya sangat ditekankan sebagaimana kata Nabi Ya’qub yang banyak mendapatkan cobaan dari Allah, mengungkapkan pesan indah kepada anak-anaknya, “Jangan pernah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir” (QS. Yusuf: 87)
Akhirnya, kembali ke pertanyaan awal, “Seberapa berani Anda Membela Islam?” terkhusus kepada wanita muslimah, jawablah dengan berani menyelami setiap makna dalam buku ini secara utuh dan paripurna, kemudian berani mengaplikasikan dalam kehidupan sehari – hari untuk membela Islam sebagaimana Nabi dan Rasulullah dan para shahabiyah telah membelanya. Sekali lagi, keberanian bukanlah milik lelaki muslimin saja tetap juga milik wanita muslimah. Semoga Allah memberikan kekuatan diri kita meneladani jalan salafus sholeh seperti mereka. Wallahu a’lam bish showwab.
Surakarta,
29 Safar 1438 H
Nunik Nurhayati, SH, MH. Ibu dari dua putri dan pegiat
Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA) Benih Surakarta.Foto buku: dari Twitter Uni @FahiraIdris yang mengirimi Buku ini. Terima kasih Uni..